Mulai dari Sabang, Indonesia Barat hingga Jayapura atau Ma-rauke, Indonesia Timur, budaya makan sirih adalah hal biasa. Bahkan budaya makan sirih dijadikan sarana untuk memulai sesuatu. Umpa-manya, sebelum memasuki acara puncak, diadakan acara tukar kampil, yang isinya di antaranya: sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau, kalau ada, dan seperangkat alat untuk merokok. Masing-masing pihak membuka kampil dan mengambil isinya lalu mengunyah sirih itu serta menyatakan, isi kampil lengkap. Sebab kadang-kadang ”anak beru yang nakal” tidak melengkapi isi kampil, mungkin kapur atau gambir tidak ada dalam kampil itu.
Apabila masing-masing pihak menyatakan, sudah lengkap, ma-ka dimulailah pembicaraan acara, membicarakan hal-hal yang berhu-bungan dengan acara kemudian hari.
Ketika penulis berumur 26 tahun, kampung Biru-Biru ditinggal-kan; pindah dan berdomisili di Papua. Selama 44 tahun di Papua, penulis belum pernah mendengar orang berucap, aku Karo-Karo ini, aku Karo-Karo itu, pada hal ”komunitas” Karo-Karo di Papua banyak. Sebenarnya istilah ”komunitas” di sini kurang tepat, dengan demikian kata ”komu-nitas” dipakai bersifat pinjam.
Adapun Karo-Karo Barus, Karo-Karo Sitepu, ataupun Karo-Karo lainnya, langsung menyebut cabangnya saja (Barus, Sitepu) kalau ia bertutur, tidak menyebut pokok atau tidak menyebut Karo-Karo, dan inilah satu bukti bahwa mereka tinggal berdekatan, atau tinggal di lingkungan sendiri, yang kalau ”bertutur” tidak perlu menyinggung Ka-ro-Karo-nya. Kebiasaan tidak menyebut menyebut pokok (Karo-Karo) itu sudah terbiasa kepada anak cucu sehingga seperti Komunitas Karo-Karo Jayapura itu. Tidak seperti Tarigan, Tarigan semua mengaku Ta-rigan saja, padahal Tarigan mempunyai 13 cabang. Orang tua tidak mengajarkan, kamu harus memakai Tarigan ini, atau Tarigan itu, tetapi Tarigan terdahulu berusaha menunjukkan ke-satu-an Tarigan. Dan ke-pada Tarigan ada julukan ”Tarigan Perbual”, perbual yang artinya tu-kang bual. Memang Tarigan perantau, oleh karena itu, merga Tarigan di mana saja selalu menunjukkan sikap ke-satu-an Tarigan; satu Tarigan. Tidak seperti komunitas Karo-Karo itu, seperti Barus kemulihennya {bu-ku P. Tambun menyebutkan, pengulihen 1)*} di Barus Jahe, Surbakti kemulihennya di Surbakti dan Gajah, Sinukaban di Pernantin dan Kaban Tua, Purba di Kaban Jahe, Berastagi, dan Lau Cih, Ketaren di Raja, dan Sibolangit, Gurusinga di Gurusinga dan Raja Berneh, Kaban di Sumbul, Sinuhaji di Ajisiempat, Kemit Kuta Bale, Bukit di Bukit, Buluh Awar, Sinuraya di Bunuraya, dan Kandibata, Samura di Samura, Sitepu di Naman, dan Sukanalu. Ada satu Karo-Karo yang menyebut dirinya, Karo Sekali yang kemulihennya di Siberaya 1*), mengapa mereka me-nyebut dirinya Karo Sekali, apakah dari Karo Sekali asal-usul ko-mu-nitas Karo-Karo?
Masih ada komunitas Karo-Karo yaitu disebut Kacaribu, Sinu-bulan, dan Jung, penulis belum pernah bergaul dengan mereka sehingga, apakah mereka menyebut Karo-Karo juga atau menyebut cabang saja, bagi penulis belum jelas.
Tanah kemulihen komunitas Karo-Karo itu sebagian besar ber-ada di sekitar Gunung Sibayak dan sebagian Gunung Sinabung. Kedua gunung itu berada di tengah-tengah Tanah Karo, sehingga semua orang berpatokan dan mengaku dirinya orang Karo, walaupun ia bermerga Sembiring, Ginting, Perangin-angin, dan Tarigan, itulah asal-usul nama daerah Karo. Kemudian, kebiasaan Pemerintah Kolonial Belanda, me-nentukan daerah ditentukan berdasarkan bahasa, Adat-Istiadat, dan alam maka disebutlah Daerah Tanah Tinggi Karo.
Akan hal mengaku dirinya orang Karo, seperti batu konglome-rat, batu kecil yang hanyut dari hulu dan kemudian mengendap pada sebuah lubuk, batu-batu yang sebesar tinju dan kecil-kecil yang berwar-na hitam, coklat, merah, dan lain-lain, maupun pasir-pasir menyatu membuat batu konglomerat yang keras dan kokoh. Demikian pula hal penduduk Tanah Karo, selama orang datang di Tanah Karo dapat me-nyatu dan asal tidak menyinggung perasaaan penduduk setempat, maka orang itu akan selamat tinggal di Tanah Karo.
Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa pusat budaya Karo berada di sekitar Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung itu. Kemudian, karena manusia adalah benda hidup sehingga peradabannya berkem-bang terus, seperti Karo Singalor Lau (maksudnya Sungai Wampu), dan ke Perbatasan Deliserdang dialek bahasanya sedikit berbeda, demikian pula Karo berbatasan Simalungun, juga dialeknya sedikit berbeda, tetapi struktur bahasanya tetap sama. Bukan saja bahasa dipengaruhi, tetapi budaya juga dipengaruhi oleh alam sekitarnya. Oleh karena itu, jangan-lah ada merasa kebudayaannya lebih hebat sehingga ia menyinggung perasaan orang lain. Lebih baik kita introspeksi diri kita daripada me-nyinggung perasaan orang lain. Orang yang suka menyinggung perasaan orang lain adalah orang Kuper (kurang pergaulan).
Dalam memperdalam budaya, anak-anak di kampung sudah dia-jari berbahasa Indonesia, seperti kalimat, Habisku nanti, pak, aku tidak mau kongsi. Peristiwa ini adalah, bapaknya membeli makanan, anaknya tidak mau berdua satu bungkus, maka muncullah kata, ’kongsi’. Kata kongsi adalah berasal dari perkumpulan dagang Belanda, tetapi karena pada bahasa Karo tidak mengenal berdua atau bertiga maka dipakailah kata kongsi dalam pembagian benda atau makanan. Demikian pula de-ngan kata ’Habisku’, itu dipakai penjelmaan dari kalimat inversi, yaitu kalimat predikat mendahului subjek, memang demikian bahasa Karo (lihat halaman 103 – 109).
Sebenarnya kalau berbahasa biasanya kata-kata sudah tersusun dalam benak sehingga kita mendapat wacana yang baik. Bagaimana ka-lau kata-kata dipakai bahasa Indonesia, tetapi struktur bahasa dipakai struktur bahasa Karo maka wacana yang didapatkan adalah lucu bagi orang lain.
Akan hal kalimat, Habisku nanti, pak, aku tidak mau kongsi, à habis à verba, -ku = aku, bila dijadikan kalimat aktif à Saya satu bungkus, habis, saya tidak mau berdua. Sudah jelas terlihat perbedaan kalimat inversi dengan kalimat aktif.
Memang pengajaran bahasa Indonesia pada saat ini, hendaknya kita bijak, sebab sebelum tahun 1970 belajar bahasa Indonesia, mulai dari SD hinga SLTA mempelajari tentang afiks atau imbuhan, pokok kalimat dan lain-lain, tetapi saat ini, tentang imbuhan dan lain-lain itu diserahkan kepada daerah masing-masing {yang disebut LKS (Lembar Kegiatan Sis-wa)}, akibatnya pengetahuan bahasa Indonesia tidak merata.
Demikianlah kata-kata Penulis dalam Sekapur Sirih ini.
Sabtu, 05 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar