Sakit saluran pernafasan, yang dimaksudkan kepada DUS, atau isteri penulis, yang kalau dokter untuk menentunkan seseorang menderita sakit saluran pernafasan melalui alat, sedangkan penulis melalui pemban-dingan dan fakta. Dari itu, penulis mengemukakan ada 3 hal, yaitu:
- Rumah Suku Lani (Dani) di Papua, sehat,
- Asal-usul sakit saluran pernafasan DUS,
- Penyakit bronkitis DUS disembuhkan.
7.1 Rumah Suku Lani (Dani) di Papua, sehat
Rumah yang dalam bahasa Lani disebut ome, bentuknya bulat yang bergaris tengah bervariasi, tergantung jumlah orang yang akan tidur di dalamnya. Jika yang akan tidur hanya isteri dan anak dua orang, garis tengah rumah cukup 3 meter, dan tinggi dinding rata-rata 2 meter yang terbuat dari kayu belah. Atap ome terdiri dari daun alang-alang, dan tebal atap kira-kira 10 cm. Atap dengan dinding dibuat rapat supaya tidak banyak udara masuk. Setelah beberapa lama atap rumah berwarna coklat karena bekas asap. Melihat besar rumah dan bekas asap itulah orang beranggapan, bahwa tinggal di rumah (omeh/honay) itu tidak sehat karena polusi udara. Tetapi jika ditelusuri pelaksanaan pemakaian ome oleh suku Lani, tiaklah demikian.
Apabila senja, terlebih dahulu orang memasang api. Jadi, sebelum masuk ke ome, lebih dahulu mengadakan pemanasan dalam rumah. Se-mentara pemanasan ruang berlangsung, orang akan makan di dapur yang letaknya agak jauh dari rumah. Setelah kira-kira mau gelap baru mereka masuk ome. Masuk ome setelah di ruangan tidak ada lagi asap, kecuali bau asap, tetapi api di dapur pemanasan yang kayu apinya dari kayu keras, tetap membara didalam abu membuat ruangan tetap hangat. Demikian pula dengan ome yang sedikit besar, pemanasan ruangan juga ada. Di ome yang sedikit besar itu, dibuatkan lantai atas. Seperti biasa, orang akan masuk ome apabila di lantai bawah asap sudah tidak ada lagi, begitu pula ruangan atas, setelah asap tidak ada baru mereka naik ke lantai atas. Umumnya kira-kira pukul 10.00 atau 11.00, malam barulah orang naik ke ruangan atas. Bagitulah cara suku Lani tidur di pedalaman Papua.
Setelah hari agak terang, ibu atau gadis akan membakar ubi atau makanan apa saja. Sedangkan bayi ataupun anak balita tetap tinggal di o-me hingga cuaca agak panas. Bayi, jika bepergian di masukkan ke dalam noken yang berselimutkan daun-daun kering. Noken untuk membawa bayi tidak lagi disebut noken, tetapi yum.
Selama lima tahun (dari 20 Juni 1966 hingga 1 Agustus 1971) di pegunungan nan dingin itu, penulis tinggal di sana, dan selama lima tahun itu penulis tidak ada mendengar bayi atau anak balita batuk panjang. Bayi dan anak-anak semuanya sehat, montok-montok/gemuk. Itulah sebabnya penulis berani mengatakan, tinggal di ome (rumah), sehat. Kecuali per-mukaan kulit, pada pagi hari, kulit kelihatan beralur-alur karena bekas keringat.
Bila penulis berjalan bersama dengan anak-anak pedalaman, di jalan tanjakan atau menurun, mereka sangat kuat. Memang penulis mula-mula mampu mengikuti langkah anak-anak, tetapi lama-kelamaan penulis kewalahan; tertinggal jauh di belakang.
7.2 Asal-usul sakit saluran pernafasan DUS
Kami tiba di pedalaman Papua pada Juni 1969, waktu itu kelihat-annya DUS tidak ada menderita penyakit batuk-batuk. Sesudah lima tahun baru kelihatan ia batuk. Makin lama batuk DUS makin menjadi, sehingga kami harus ke poliklinik untuk berobat. Oleh dokter di Poliklinik, ia diberi obat, tetapi tidak diberi tahu, apa penyakitnya.. Makin lama frekwensi ba-tuk DUS bertambah meningkat, oleh karena itu, selain berobat penulis menanyakannya, bagaimana asal-usul batuknya. Katanya, sewaktu latihan angkat besi di SPG Kabanjahe, tiba-tiba ia batuk. Penulis kurang percaya atas atas keterangan DUS.
Ketika kami cuti ke kampung halaman, penulis coba tanyakan ke-pada nenek kami (orangtua mertua) hal kelahiran DUS, dengan cara me-ngorek-ngorek, bagaimana riwayat kelahiran DUS. Menurut nenek itu, waktu itu tentara Belanda datang, lalu terjadi pertempuran, asap mengepul ke udara. Saat itulah nenek mendapat berita dari menantunya tentang cucu- nya sudah lahir. Nenek tinggal di kampung Buluhnipes, yang bersebe-rangan jalan dengan tempat DUS lahir, yang jauhnya kira-kira 4 km. Men-dengar cucu sudah lahir, nenek itu bergegas pergi menyeberangi jalan me- nuju gubuk tempat lahir DUS. Di situ nenek melihat seorang dukun ber-anak (yang tak lain adalah ibu ayah DUS) dan ibu DUS, dan tiga orang anak; kakak dan abang DUS. Rupanya waktu itu, karena takut kepada tentara Belanda yang selalu main gebug, orang-orang berpindah-pindah tempat, dan tempatnya gubuk darurat.
Setelah penulis kait-kaitkan ceritera nenek itu, rupanya tentara Be-landa sebenarnya belum datang, tetapi waktu itu los pekan Biru-Biru dise-rang oleh tiga mustang Belanda. Rupanya suara gemuruh pesawat terbang dan tembakan, nenek itu terkena ilusi suara, sehingga katanya, tentara Belanda datang.
Adapun gubuk darurat itu, malam hari tidak diizinkan membuat api besar, karena dengan adanya api akan mengeluarkan cahaya membuat mata-mata Belanda datang. Dari ceritera takut membuat api, tentu udara di dalam gubuk dingin, apalagi dini hari tentu udara sangat dingin. Walaupun nenek itu tidak menceriterakan hal keadaan bayi DUS kedinginan, tetapi pembaca dapat membayangkan keadaan bayi DUS. Bayi itu akan mena-ngis-menangis terus membuat saluran pernafasan terganggu/meradang. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga orang saudaranya; kakak dan abang DUS, maupun dua orang adiknya yang akan lahir kemudian, tidak ada yang sakit saluran pernafasan. Kalau dibandingkan keadaan DUS sewaktu bayi dengan bayi pedalaman Papua yang hidup dalam ome yang berabu, maka sakit saluran pernafasan penyebabnya adalah akibat selalu menangis karena dingin ataupun hal lain. Selalu menangis itu, membuat saluran pernafasan terganggu, atau timbul radang, lalu meninggalkan bekas, yang walaupun sudah sembuh, tetapi kesembuhannya hanya mereda, yang apa-bila sewaktu-waktu kena dingin pada bekas itu akan menimbulkan alergi, yang menyebabkan batuk. Seseorang yang sudah pernah terganggu perna-fasannya, yang dianggap sudah sembuh, tetapi kian berumur dia kian ber-kurang pula daya tahannya terhadap batuk.
7.3 Penyakit bronkitis DUS disembuhkan
Telah diungkapkan bahwa orang yang pernah saluran pernafasan- nya terganggu, dapat menimbulkan batuk berkelanjutan. Yang begitulah dialami DUS, apalagi ia saat-saat berumur, ke dokter-dokter menjadi “ma-kanannya.”
Mendung sudah dua hari, mendung yang menyebabkan DUS ba-tuk-batuk, tetapi dia belum mau ke dokter. Ketika batuknya makin men-jadi, ia sadar bahwa batuknya nanti menjadikan ia absen mengajar. Oleh sebab itu, pagi sekali ia pergi ke Puskemas untuk berobat. Ketika dokter melihat DUS datang yang sedang batuk-batuk, dokter yang belum mema-kai baju seragamnya, buru-buru masuk ke ruang kerjanya. “Silakan masuk, buk, apa keluhan ibu?” tanya dokter. Sebenarnya pertanyaan dokter hanya basa-basi, ia sudah tahu keluhan DUS karena ia sering berobat ke Pus-kesmas. DUS menceriterakan bahwa dua hari akhir-akhir ini, ia terganggu tidurnya, apalagi pagi ini, batuk-batuk terus. Kata dokter, “Batuk ibu ini disebut bronkitis, apabila cuaca buruk; seperti cuaca sekarang ini, batuk ibu akan kumat. Obat batuk bronkitis tidak ada, hanya meredakan batuk yang dapat kita buat, yaitu kalau ibu lihat cuaca buruk, ibu pakai baju panas lalu mengurung diri di rumah sampai cuaca panas.” DUS diam de-ngan maksud akan mendapat obat. Dokter juga diam, dengan maksud DUS juga mengetahui dan sadar akan keberadaannya. Setelah beberapa lama dokter berkata, “Sudah ibu, pulang saja.” DUS tidak ada mengucapkan terima kasih dan mukanya muram, lalu ia pulang. Baru sampai di halaman rumah, ia marah-marah seraya mengucapkan, “Terlalu itu Siahaan (mak-sudnya dokter itu), kita mau berobat, malahan ia berkhotbah panjang lebar.” DUS melapor kepada penulis sambil menangis. Sudah, sudah ja-ngan berbicara seperti itu, malu kita, kata penulis membujuk. Kami masuk ke dalam rumah dan berdoa. Lalu setelah penulis mendengar laporan DUS itu, penulis mulai beraksi. Penulis mengambil seterika dan menyambung-kannya ke stop kontak. Sementara seterika dicokkan, penulis mengambil kain-kain dan kain sarung. Seterika yang sudah panas itu, digosokan pada kain-kain, lalu DUS mengambilnya dan menempelkannya pada badannya. Kira-kira dua puluh menit kemudian, Dus mengatakan, “Sudah lega sedikit bernapas, saya mau pergi ke sekolah.”
Sorenya, kembali dipanaskan seterika dan menggosok-gosokkan pada kain, lalu ditempelkan ke badan. Berbuat seperti itu, apabila DUS ba-tuk-batuk. Tindakan menyeterika kain prosesnya agak lama. Setelah bebe-rapa lama, DUS menganjurkan agar, kain empat lapis ditaruh di atas pung-gung; bagian kiri tulang belikat, lalu diseterika. “Panas dari seterika rasa-nya sampai ke bagian dalam, enak.” kata DUS. Tindakan mengobati bronkitis DUS dengan panas seterika; menyeritika di punggung DUS fre-kwensi makin lama makin berkurang. Penyakit bronkitis DUS yang sejak 1985, bila kumat, langung diseterika, yang akhirnya jarang kumat. Walau-pun dikatakan kumat, tetapi penulis menganggap sudah sembuh, karena tidak menggangu aktivitas DUS sebagai guru.
Penemuan menyeritika kain untuk menyembuhkan bronkitis bagi penulis sangat berharga, karena anak yang pernah beringus dapat disem-buhkan. Bahkan pada anak yang ditimpa sakit batuk 100 hari, juga dapat disembuhkan, tetapi tidak diingat penulis proses seterika dan penyembuh-annya berapa lama. Hanya saja, bila anak batuk panjang dan kita merasa kasihan melihat anak itu, setelah kain dipanaskan lalu ditempelkan pada badan anak itu berulang-ulang sekujur tubuhnya, badan anak akan menjadi hangat dan batuk mereda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar