Beberapa tahun kemudian, walaupun tidak setuju dengan ulah o-rang Barat itu, karena anak ajak jalan-jalan ke Bali, penulis sedia ikut. Se-mula penulis tolak ajakan itu karena kondisi penulis, yang lima menit ber-jalan, penulis hosa, itupun kalau ada orang menuntun. Tetapi si anak tetap
ngotot, mengajak dan katanya, “Kami Raker di Denpasar sampai hari Ka-mis, nanti hari Sabtu kita jalan-jalan. Kalau Bapak tidak kuat, kami pikul,” kata anak itu.
Hari Sabtu pagi, pukul 4.00 dini hari kami sudah tiba di Bandara Sukarno-Hatta, dan setelah turun dari taksi, penulis disuruh naik kereta dorong, sampai ke tempat lapor. Didorong-dorong itu penulis agak segan dan bingung karena belum pernah naik kereta dorong, bagaimana nanti naik di tangga pesawat, jangankan di tangga pesawat, berjalan yang jauh-nya kira-kira 300 m menuju pesawat, sudah menjadi pemikiran penulis. Rupanya kereta dorong akan masuk bagasi, dan kereta dorong itu di-manfaatkan pihak pesawat Merpati untuk mendorong penulis menuju pe-sawat. Naik kereta dorong hanya sampai di pinggir lapangan, lalu naik mobil. Penulis melihat, penulis sebagai penumpang terakhir, dan sesudah turun dari mobil, langsung di tangga pesawat. Dengan tertatih-tatih dan didorong orang dari belakang, penulis akhirnya tiba juga di atas pesawat. Pukul 6.00 kami sudah terbang menuju Denpasar, dan pukul 7.00 pagi itu juga pesawat yang kami tumpangi sudah mendarat di lapangan terbang Ngurah Rai, Denpasar. Di lapangan terbang Denpasar terlihat banyak kereta dorong berjejer-jejer yang sudah disiapkan. Rupanya para turis yang sudah tua akan dibantu, diservis sebaik mungkin. Tetapi bagi penulis kereta itu membuat terganggu, karena penulis harus diangkut dengan ke-reta mereka. Kereta dorong penulis masuk bagasi, dengan demikian pe-nulis harus naik kereta dorong mereka dan pendorongnya orang mereka sendiri. Akibatnya penulis terlambat keluar, setelah setengah jam kemu-dian barulah penulis bisa keluar. Selanjutnya kereta mereka ditinggalkan, lalu penulis naik ke kereta dorong yang kami bawa.
Pukul 9.00 kami tiba di hotel, istirahat sejenak lalu pergi dengan mobil rental menuju Hutan Kera. Di Hutan Kera itu banyak turis asing sangat memperhatikan gerak-gerik kera-kera itu, dan orang asing itu sa-ngat senang.
Kami di Hutan Kera itu hanya 1 jam lalu pergi lagi menuju Danau Batur dan Gunung Batur. Kami tiba pukul 2.00, lalu menatap Danau dan Gunung Batur dari tempat istirahat, yang keindahannya tak kalah dengan Bukit Gundaling atau menatap Danau Toba dari atas; dari kita hendak menuruni jalan menuju Parapat.
Keesokan harinya, lagi menggunakan mobil rental kami menuju Danau Bedugul. Perjalanan ke Bedugul lamanya kira-kira 4 jam dari Den-pasar. Di Bedugul ada pura di seberang danau, yang gambarnya dapat dilihat pada lembaran uang 50.000 rupiah.
Singkat ceritera, sekembalinya dari Bedugul kami langsung menu-ju pantai Jimbaran. Di Jimbaran restoran berada di depan, sedangkan di belakangnya (tepi pantai) telah disediakan meja-meja makan yang jumlah-nya ratusan. Waktu itu jam sudah menunjukkan angka 4 sore, yang seben-tar lagi matahari akan memasuki kaki langit, dan matahari kelihatan merah seperti bulan. Penulis lihat para turis sudah siap dengan kameranya. Persis ketika matahari hendak tenggelam para turis serentak hura, dan tepuk ta-ngan yang sangat meriah. Rupanya mereka jarang melihat matahari seperti itu, bahkan di negerinya ada seharian meraka tidak dapat melihat matahari. Oleh karena itu, penulis merasa bersalah kepada turis, karena penulis me-nuduh orang Barat menganggap bangsa Indonesia hewan, hal ini berkaitan dengan “sumur” di Kuta.
Orang Barat dapat menikmati sinar matahari pemberian dari Tu-han, sedangkan kita banyak tidak mau menikmati pemberian Tuhan, con-tohnya, ibu-ibu, terutama ibu-ibu di kota besar, apabila matahari baru pukul 9.00 ibu-ibu menindis tombol payungnya, lalu “traak”payung ter-buka, siap dipakai sehingga ibu itu tidak kena sinar matahari. Untuk menu-
tupi kekurangannya, katanya, “Panas.” Pada hal ia takut bedaknya yang tebal rusak kena keringat. Yang paling lucu bagi penulis, mendengar ka-limat, “Kita harus merawat muka dan badan, agar suami tidak mencari perempuan lain.” Sebenarnya, kalau suami memang cinta, walaupun isteri wajahnya sudah rusak, mungkin karena kecelakaan mobil, suami akan cinta terus.
Orang Bali itu, penulis lihat perempuan-perempuannya tidak takut kena sinar matahari, bahkan mereka menadah sinar matahari. Lagi pula gadis-gadisnya sederhana mekapnya.
Soal kecantikan, walau cantik karena dipoles dan tidak kena sinar matahari, tetapi perempuan itu “buntang” sangat mempengaruhi hubungan suami-isteri, kalau suami “mata keranjang”.
Yang dimaksud dengan kata buntang (bahasa Karo), contohnya: kasbih (ubi kayu) yang hidup di bawah pohon yang lebih tinggi, ubi ku-rang kena sinar matahari, daun kasbih itu kelihatan cantik, dan ramping, tetapi mudah patah. Begitu pula soal kecantikan perempuan, perempuan cantik dan bersih karena tidak kena sinar matahari, akibatnya sedikit kena
hujan, ia langsung flu dan tidak mampu lagi bekerja, bagaimana, ya. Apalagi kalau suami meninggal dunia, perempuan itu akan kebingungan. Ia akan hidup kehilangan kendali.
Adapun isteri takut ditinggal suami atau suami takut berselingkuh, lalu isteri rajin bersolek, tetapi isteri bersolek kepada suami di rumah, atau bersolek untuk suami di tempat umum? Kalau bersolek untuk suami di rumah maupun bersolek untuk suami di luar rumah, hendaknya solekan Anda sederhana saja. Hal.ini menurut pemikiran penulis belaka.
Untuk suami tidak berselingkuh, solusi yang terbaik, adalah, usa-hakanlah ada pemasukan uang belanja. Dengan adanya pemasukan uang belanja, suami tidak akan nokoh [(menganggap remeh terhadap isteri), per-bendaharaan kata dari bahasa Karo]. Kalau tidak ada uang pemasukan, atau isteri hanya menganga menunggu pemberian suami, suami akan no-koh; karena suami akan berpikir, “Kalau cerai dari saya, engkau dapat ma-kan dari mana.” Akibatnya sang isteri akan “nerimo wai” saja atas perbu-atan suami, suami dapat isteri kedua, ketiga, dan isteri keempat. Memang tidak semua suami berpikir seperti itu, masih banyak suami lain yang baik dan menyayangi isteri dan anaknya.
Hal suami dan isteri yang ditulis di buku ini hanya merupakan pe-mikiran penulis belaka.
ngotot, mengajak dan katanya, “Kami Raker di Denpasar sampai hari Ka-mis, nanti hari Sabtu kita jalan-jalan. Kalau Bapak tidak kuat, kami pikul,” kata anak itu.
Hari Sabtu pagi, pukul 4.00 dini hari kami sudah tiba di Bandara Sukarno-Hatta, dan setelah turun dari taksi, penulis disuruh naik kereta dorong, sampai ke tempat lapor. Didorong-dorong itu penulis agak segan dan bingung karena belum pernah naik kereta dorong, bagaimana nanti naik di tangga pesawat, jangankan di tangga pesawat, berjalan yang jauh-nya kira-kira 300 m menuju pesawat, sudah menjadi pemikiran penulis. Rupanya kereta dorong akan masuk bagasi, dan kereta dorong itu di-manfaatkan pihak pesawat Merpati untuk mendorong penulis menuju pe-sawat. Naik kereta dorong hanya sampai di pinggir lapangan, lalu naik mobil. Penulis melihat, penulis sebagai penumpang terakhir, dan sesudah turun dari mobil, langsung di tangga pesawat. Dengan tertatih-tatih dan didorong orang dari belakang, penulis akhirnya tiba juga di atas pesawat. Pukul 6.00 kami sudah terbang menuju Denpasar, dan pukul 7.00 pagi itu juga pesawat yang kami tumpangi sudah mendarat di lapangan terbang Ngurah Rai, Denpasar. Di lapangan terbang Denpasar terlihat banyak kereta dorong berjejer-jejer yang sudah disiapkan. Rupanya para turis yang sudah tua akan dibantu, diservis sebaik mungkin. Tetapi bagi penulis kereta itu membuat terganggu, karena penulis harus diangkut dengan ke-reta mereka. Kereta dorong penulis masuk bagasi, dengan demikian pe-nulis harus naik kereta dorong mereka dan pendorongnya orang mereka sendiri. Akibatnya penulis terlambat keluar, setelah setengah jam kemu-dian barulah penulis bisa keluar. Selanjutnya kereta mereka ditinggalkan, lalu penulis naik ke kereta dorong yang kami bawa.
Pukul 9.00 kami tiba di hotel, istirahat sejenak lalu pergi dengan mobil rental menuju Hutan Kera. Di Hutan Kera itu banyak turis asing sangat memperhatikan gerak-gerik kera-kera itu, dan orang asing itu sa-ngat senang.
Kami di Hutan Kera itu hanya 1 jam lalu pergi lagi menuju Danau Batur dan Gunung Batur. Kami tiba pukul 2.00, lalu menatap Danau dan Gunung Batur dari tempat istirahat, yang keindahannya tak kalah dengan Bukit Gundaling atau menatap Danau Toba dari atas; dari kita hendak menuruni jalan menuju Parapat.
Keesokan harinya, lagi menggunakan mobil rental kami menuju Danau Bedugul. Perjalanan ke Bedugul lamanya kira-kira 4 jam dari Den-pasar. Di Bedugul ada pura di seberang danau, yang gambarnya dapat dilihat pada lembaran uang 50.000 rupiah.
Singkat ceritera, sekembalinya dari Bedugul kami langsung menu-ju pantai Jimbaran. Di Jimbaran restoran berada di depan, sedangkan di belakangnya (tepi pantai) telah disediakan meja-meja makan yang jumlah-nya ratusan. Waktu itu jam sudah menunjukkan angka 4 sore, yang seben-tar lagi matahari akan memasuki kaki langit, dan matahari kelihatan merah seperti bulan. Penulis lihat para turis sudah siap dengan kameranya. Persis ketika matahari hendak tenggelam para turis serentak hura, dan tepuk ta-ngan yang sangat meriah. Rupanya mereka jarang melihat matahari seperti itu, bahkan di negerinya ada seharian meraka tidak dapat melihat matahari. Oleh karena itu, penulis merasa bersalah kepada turis, karena penulis me-nuduh orang Barat menganggap bangsa Indonesia hewan, hal ini berkaitan dengan “sumur” di Kuta.
Orang Barat dapat menikmati sinar matahari pemberian dari Tu-han, sedangkan kita banyak tidak mau menikmati pemberian Tuhan, con-tohnya, ibu-ibu, terutama ibu-ibu di kota besar, apabila matahari baru pukul 9.00 ibu-ibu menindis tombol payungnya, lalu “traak”payung ter-buka, siap dipakai sehingga ibu itu tidak kena sinar matahari. Untuk menu-
tupi kekurangannya, katanya, “Panas.” Pada hal ia takut bedaknya yang tebal rusak kena keringat. Yang paling lucu bagi penulis, mendengar ka-limat, “Kita harus merawat muka dan badan, agar suami tidak mencari perempuan lain.” Sebenarnya, kalau suami memang cinta, walaupun isteri wajahnya sudah rusak, mungkin karena kecelakaan mobil, suami akan cinta terus.
Orang Bali itu, penulis lihat perempuan-perempuannya tidak takut kena sinar matahari, bahkan mereka menadah sinar matahari. Lagi pula gadis-gadisnya sederhana mekapnya.
Soal kecantikan, walau cantik karena dipoles dan tidak kena sinar matahari, tetapi perempuan itu “buntang” sangat mempengaruhi hubungan suami-isteri, kalau suami “mata keranjang”.
Yang dimaksud dengan kata buntang (bahasa Karo), contohnya: kasbih (ubi kayu) yang hidup di bawah pohon yang lebih tinggi, ubi ku-rang kena sinar matahari, daun kasbih itu kelihatan cantik, dan ramping, tetapi mudah patah. Begitu pula soal kecantikan perempuan, perempuan cantik dan bersih karena tidak kena sinar matahari, akibatnya sedikit kena
hujan, ia langsung flu dan tidak mampu lagi bekerja, bagaimana, ya. Apalagi kalau suami meninggal dunia, perempuan itu akan kebingungan. Ia akan hidup kehilangan kendali.
Adapun isteri takut ditinggal suami atau suami takut berselingkuh, lalu isteri rajin bersolek, tetapi isteri bersolek kepada suami di rumah, atau bersolek untuk suami di tempat umum? Kalau bersolek untuk suami di rumah maupun bersolek untuk suami di luar rumah, hendaknya solekan Anda sederhana saja. Hal.ini menurut pemikiran penulis belaka.
Untuk suami tidak berselingkuh, solusi yang terbaik, adalah, usa-hakanlah ada pemasukan uang belanja. Dengan adanya pemasukan uang belanja, suami tidak akan nokoh [(menganggap remeh terhadap isteri), per-bendaharaan kata dari bahasa Karo]. Kalau tidak ada uang pemasukan, atau isteri hanya menganga menunggu pemberian suami, suami akan no-koh; karena suami akan berpikir, “Kalau cerai dari saya, engkau dapat ma-kan dari mana.” Akibatnya sang isteri akan “nerimo wai” saja atas perbu-atan suami, suami dapat isteri kedua, ketiga, dan isteri keempat. Memang tidak semua suami berpikir seperti itu, masih banyak suami lain yang baik dan menyayangi isteri dan anaknya.
Hal suami dan isteri yang ditulis di buku ini hanya merupakan pe-mikiran penulis belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar