Sabtu, 05 Februari 2011

MANFAAT SINAR MATAHARI

Pada tahun 1966 penulis sudah memasuki masa purna bhakti (pen-siun) dan penulis bersama isteri (DUS) membuat program mengunjungi famili di kampung. Kami dengan menumpang KM. Dobonsolo dari Jaya-pura dan singgah di Denpasar/Bali. Ketika ABK. mempersiapkan kapal untuk sandar, ada pengumuman, “Bagi penumpang yang ingin jalan-jalan di Denpasar, Pelni menyiapkan transportasi bus berkeliling Denpasar, yang dimulai dari pantai Kuta. Di Kuta Anda akan melihat sumur ………dst.” Kami membeli tiket @ Rp 7.500, lalu turun dari kapal dan kami naik bus. Kira-kira dua puluh menit kemudian kami sudah tiba di Kuta. Rupanya yang dimaksud dengan “sumur” adalah susu di jemur, di sana terlihat susu (payudara) orang Barat di jemur, tetapi dilarang dipotret. Waktu itu mata-hari sudah pukul 10.00. Badan mereka terlihat merah kena sinar matahari. Di Kuta kami hanya 30 menit, lalu terus berkeliling dan selanjutnya me-nuju Benoa, pelabuhan Denpasar. Masih dalam bus itu, sekembali dari Kuta itu, mungkin teman-teman sepanjang perjalanan masih menikmati alam Denpasar, tetapi penulis berpikir-pikir, koq orang Barat itu mau ber-buat seperti itu, atau kami di Indonesia dianggap hewan?
Pukul 4.00 sore kami sudah tiba kembali di kapal dan segera ber-tolak menuju Jakarta., selanjutnya ke kampung halaman.

Sekembali dari kampung, pada suatu hari, menjelang gelap penulis pergi dari rumah menuju rumah BS untuk kebaktian Rumah Tangga, di komplek BTN, Kotaraja. Di rumah itu, isteri BN sedang menggendong anaknya, yang umurnya hampir 1 1/2 tahun. Koq, sudah besar masih digendong? kata penulis berbasa-basi. “Tidak tahu, opa. Anak ini mau makan dan kebutuhan gizinya terpenuhi, tetapi belum bisa berjalan,” si isteri menjelaskan. Percakapan kami hanya sekian, percakan terbatas karena kebaktian akan dimulai. Setelah selesai kebaktian, kami bubar.
Kira-kira dua bulan kemudian, lagi kebaktian Rumah Tangga dise-lenggarakan di rumah BS itu. Penulis ingin menyampaikan tentang kea-daan anak di London, Inggris. Oleh karena itu penulis datang lebih awal ke rumah BS. Setibanya di rumah keluarga itu, penulis katakan, Ibu, sewaktu saya Sekolah Guru, guru saya mengatakan, di London banyak anak berka-ki O atau X. Setelah mereka selidiki, rupanya karena mereka hidup di rumah susun dan tinggi, sehingga mereka kurang mendapat sinar matahari. Akibatnya anak-anak mereka, ya, itu berkaki O ata X. Coba anak ini di jemur mulai pukul 9.00 sampai pukul 10.00 pagi. Di sini sedang memba-ngun, banyak pasir untuk bermain. Rupanya ibu itu menerima saran penu-lis, dan seminggu kemudian anak itu sudah dapat lari-lari, tetapi lari-lari saja, belum mampu mengerem, larinya, lalu jatuh, berdiri, lari lagi lula jatuh, begitu terus-menerus, kata ibu. Biarpun lari lalu jatuh, ibu itu sangat. senang, dengan bukti: Setiap hari Minggu ibu menyapa penulis, “Opa, Anu sudah bisa berjalan,” sapanya (namanya penulis lupa, katakanlah Anu) Kalau ibu-ibu yang disapa, pasti ibu itu mengusap pipi Anu, tetapi penulis tidak tanggap, penulis hanya menyahut dengan “ng …”suara hidung. Saya tahu ibu ibu ingin anaknya disapa penulis, tetapi penulis tidak mampu bernuat seperti ibu-ibu, mengusap pipi anak.

Sewaktu menulis naskah ini, penulis teringat akan perempuan Ba-rat, perempuan yang sedang berjemur di pasir pantai, yang penulis dalam hati menuduh orang Barat itu, menganggap orang Indonesia sama dengan hewan. Rupanya bukan demikian, dan untuk mengetahui, mengapa orang Barat berbuat demikian, bacalah naskah berikut (halaman , no. 10)

Kemudian, bagi orang yang sudah berumur 70 tahun atau lebih, setelah membaca uraian yang dikemukakan ini, diharapkan menjadi awas bila kena hujan, hujan yang asalnya mula-mula dari titik air karena di-nginnya di angkasa, kemudian turun ke tanah atau ke laut. Pembaca dapat membayangkan, betapa dinginnya hujan itu ketika menimpa kita, walau-pun hujan mengalami perubahan panas di permukaan tanah. Pemikiran ini timbul karena, sewaktu muda penulis mengupas tebu dan menghisap airnya hanya menggunakan gigi, tetapi aman-aman saja. Setelah berumur 70 tahun, menggigit tebu rasanya lidah tersayat-sayat. Jadi, sesudah manu-sia tua daya tahannya sangat berkurang. Oleh karena itu, bila lama kehu-janan, sebaiknya Anda berlama-lama bermandi air hangat, atau merendam di bak dengan air hangat hingga panas badan normal kembali seperti se-mula (36-37 0 Celsius). Bagi orang yang sehari-harian bergelut di bawah sinar matahari tentu berbeda daya tahannya dengan orang seperti dice-riterakan di atas; orang yang rentan penyakit reumatik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar