Selanjutnya tanggapan keluarga tentang usaha penulis; Usaha pe-nulis ditanggapi dingin oleh keluarga, yang akibatnya terjadi pertengkaran dalam keluarga.
Telah diungkapkan bahwa DUS lahir di gubug yang dingin (baca Penyakit Saluran Pernafasan, no.7) akibat lahir di tempat dingin, DUS ren-tan penyakit. Begitu pula penulis, lahir pada masa kedatangan Jepang. Waktu itu pemerintah Belanda menganjurkan, lebih baik menyingkir ke hutan dan malam hari tidak memasang lampu, bahkan memasak makanan sebaiknya sebelum gelap. Kalau ada sedikit saja sinar, tentara Jepang bisa terjun, begitu ceritera ayah (alm).
Sebenarnya pada Suku Karo pada zaman dahulu, bila ada anak lahir harus dibuatkan dapur sederhana di samping ibu yang melahirkan, yang lamanya rata-rata dua bulan. Kalau ditanya, mengapa begitu, mereka akan menjawab, tidak tahu. Pemanasan itulah tidak ada kepada penulis maupun kepada DUS, yang membuat rentan terhadap penyakit.
Ketika penulis berumur kira-kira 45 tahun, pagi sekali penulis me-masuki kandang ayam. Kandang ayam itu terbuat dari kayu sampingan bekas gergajian, yang pintunya dibuat sempit, hanya yang bisa dilewati manusia dengan melurus badan, agar pecuri susah masuk. Begitulah cara masuk ke kandang ayam. Ketika penulis memasuki kandang itu, penulis merasa sakit di bagian telapak kaki. Pikir penulis, kaki penulis keseleo, ah, pulang kantor nanti maitu (panggilan kepada isteri di Papua) urut. Sepu-lang dari kantor maitua mengurut kaki penulis dengan minyak urut. Ter-nyata setelah diurut di kaki itu bukan tambah baik, tetapi tambah sakit, bahkan sakitnya bukan kepalang. Penulis pikir, esok harus ke rumah sakit. Makin lama sakit itu makin menjadi sehingga penulis dengan kaki terseok-seok diantar oleh isteri sampai di jalan, kemudian naik angkot. “Mengapa,, Pak,” kata Lakehu, anggota penulis yang kebetulan ada di angkot itu. Pe-nulis tidak menjawab karena kesakitan, sakit penulis makin menjadi mung-kin karena dipaksa berjalan. Setiba di rumah sakit, penulis menyuruh ang-gota itu pergi ke kantor, malu apabila diantar sampai ke ruang periksa. Ke-tika nama penulis dipanggil, dengan memegangi dinding, penulis men-datangi dokter. Dokter Sarumpaet terkejut, mungkin karena muka penulis tidak seperti orang sakit. “Kena apa, kena apa,” tanya dokter itu. Tidak tahu, kata penulis. Lalu penulis ceriterakan hal mulainya sakit. Belum habis berceritera, penulis melihat, dokter menulis reumatik di kertas re-sep. Saya ini sakit reumatik, tanya penulis. “Ya,” kata dokter seraya menu-lis surat sakit selama 3 hari. Tolong dok, bikin surat sakit itu sepuluh hari, sakit sekali ini. “Coba saja dulu,” kata dokter. Dari ruangan dokter, penulis dengan tertatih-tatih pergi ke kantin. Dengan maksud, pulang ke rumah menumpang bus pegawai rumah sakit. Di kantin dengan bantuan kenalan, penulis minta tolong untuk mengambil obat di ruang obat, yang karena teman itu memang bekerja di rumah sakit, ia hanya sepuluh menit, ia sudah datang kembali. Obat yang ditulis di kertas resep, vehatson forte penulis telan. Hanya kira-kira 20 menit, di yang sakit sudah terasa mem-baik. Jadinya penulis tidak naik bus rumah sakit karena sudah kuat.
Setelah sebulan dari berobat itu, sakit lagi di kaki sebelah kiri, yang mulanya penulis menginjak batu kerikil. Penulis tidak lagi ke rumah sakit berobat karena terlama menunggu, penulis berobat ke dokter praktek. Dokter praktek memberikan obat Irgapan. Dengan resep itu, penulis meja-di tahu bahwa apabila sakit lagi Irgapan obatnya. Kawan penulis, setelah ia melihat dan mengetahui sakit pada bagian kaki, katanya, penulis bukan sakit reumatik, tetapi asam urat. Katanya lagi, kalau reumatik tidak sakit bagian bawah, tetapi pada persendian atas. Dalam hati penulis, reumatik atau asam urat, tidak masalah yang penting penulis tidak sakit lagi.
Rupanya sakit asam urat pantangan banyak. Oleh sebab itu, kawan (kawan dimaksudkan penulis, ada pegawai kantor, guru dan ada pula pera-wat) itu mengatakan, kalau pantangannya dimakan terus, akan kambuh la-gi sakitnya. Tetapi sudah terlambat, sudah timbul benjol-benjol di kaki se-hingga tidak bisa lagi memakai sepatu. Bukan saja tidak bisa bersapatu, te-tapi sakit lagi pada bagian jempol tangan kanan, dan kata kawan, “Sakit di jempol itulah reumatik. Dan menelan obat Irgapan bukanlah solusi, Irga-pan hanya mengurangi sakit, diharapkan ada penyembuhan dari dalam, ya-
itu dengan panas matahari, atau dengan berdiang dekat kompor, panas itu sangat membantu. Kalau musim penghujan atau udara dingin, dingin itu membuat reumatik kambuh. Oleh sebab itu, kalau musim hujan datang, dianjurkan berdiang di dapur. Lihat orang Barat, orang Barat memasang api di rumah, yang dapat dilihat melalui layar televisi,” kata teman itu.
Berkaitan dengan panas itu, ketika penulis menjemput orang di Bandara Sentani, penulis sempatkan mengunjungi S. Perangin-angin di kantornya; Kantor Karantina Hewan. Karena tidak ada hewan masuk, kami berbincang-bincang. Menurut S. Perangin-angin, mertuanya (orang Jawa) yang tinggal di Jawa umurnya diperkirakan sudah seratus tahun. Penulis tanyakan, solusinya bagaimana. “Diambilnya jahe merah dan kunyit lalu ditumbuknya, kemudian ditaruh minyak makan, lalu dipanaskan. Pada saat panas itu, Bapak itu menempelkannya ke badannya. Bapak itu tidak meng-alami sakit seperti abang katakan, tetapi pisiknya memang berkurang, ”ka-ta Perangin-angin itu.
Mendengar kata-kata Perangin-angin itu, setiba di rumah penulis mencari jahe merah di pasar. Rupanya jahe merah di Jayapura mahal har-ganya sebab didatangkan dari luar Papua. Jahe merah itu dibuat penulis se-perti dibuat mertua Perangin-angin. Memang jahe itu menolong.
Rupanya DUS sudah sakit juga, Irgapan selalu ditelannya. Lama-kelamaan Irgapan tidak mempan. Pada suatu pagi DUS merasakan sakit, tetapi kesakitannya dibawakannya saja ke sekolah. Sakitnya makin menja-di sehingga ia minta permisi pulang kepada Kep. Sekolah. Ia langsung me-nelepon penulis untuk segera pulang. Ketika penulis tiba di rumah, penu-lis mendengar DUS merintih kesakitan di kamar. Penulis tanyakan, ja-wabnya, mungkin reumatik. “Sudah banyak saya makan Irgapan, tetapi ti-dak mempan lagi,” kata DUS. Tiba-tiba ada orang mengetuk pintu, penulis bukakan pinta, rupanya yang datang B. Sembiring. “Mana bibi,” tanyanya. Singkat ceritera, kedatangan Sembiring adalah hendak minta tolong kepa-da Elsa yang bekerja di Kantor UNDP Jakarta. Kata Sembiring, adiknya yang bekerja di Arab Saudi, sudah lama tidak ada kabarnya. Rupanya a-diknya sakit kanker otak sehingga ia tidak tahu lagi keadaan dirinya.
Sembiring mengatakan, ia pernah juga sakit seperti DUS sepulang mengantar turis ke Puncak Jaya, ia kena reumatik. Kalau dokter yang mengobati, atau dengan obat saja, hanya bertahan beberapa waktu saja ti-dak sakit, tidak lama kemudian akan kambuh lagi. Itulah sebabnya, “Lebih baik membeli jahe merah dan kunyit, ditumbuk lalu dicampur dengan mi-nyak makan, kemudian dibungkus dengan kain-kain, dipanaskan di atas kompor yang di alas daun pisang. Jahe itu ditempel-tempelkan dengan panas setahan bibi,” kata Sembiring. Penulis langsung mencari jahe merah (tanpa kunyit) yang kebetulan ada di dapur dan mengolahnya seperti Sem-biring katakan. Penulis tinggalkan DUS, dan ia bercakap-cakap dengan Sembiring, yang kemudian Sembiring pergi, penulis tidak tahu. Kesokan harinya DUS mengajar kembali tanpa ada gangguan kesehatan, itulah kerja jahe merah.
Pada akhir tahun 2008 penulis dengan DUS (isteri) sudah berada di Bekasi. Selama dua tahun di Bekasi kami aman-aman saja, tidak ada penyakit serius, kecuali sakit maag. Tetapi di akhir tahun 2010 reumatik mulai menggeroti DUS. Ia mulai merasa tidak enak badan, itu sebabnya penulis menasehatkan, kalau keluar pagi-pagi harus pakai baju panas, agar tidak kedinginan. Tetapi DUS ngeyel (mengà ng-eyel : tidak mau meng-ikut, 2008, à tidak mau mengalah; tidak mau mengikuti nasehat), alas-annya, “Dari dahulu saya biasa keluar pagi, hanya pakaian biasa, tidak ke-dinginan, koq,” katanya. Rupanya ia sudah lupa sewaktu di Jayapura.
Badan tak enak tambah lama tambah menjadi sehingga ia menge-luh. Anaknya mengajak mamaknya untuk pergi ke dokter praktek. Tetapi DUS mungkin mengharapkan ke dokter itu, ada pernyataan dari penulis. Memang sebelumnya, penulis sudah menjelaskan bahwa ke dokter itu, bu-kan solusi, sebab obat dari dokter hanya beberapa waktu lalu kambuh lagi. Tiba-tiba anak dengan nada keras, “Bapak sekolah dokter di mana, mana ijazah Doktornya.” DUS (isteri) ikut marah, katanya Bapakmu bukan Doktor saja, tetapi Propesor. Mendengar kemarahan mereka, penulis juga mulai marah, sudah, sudah, kamu ke dokter, dokter nanti selain membe-rikan obat, ia akan memberikan matahari dan pemanas lainnya. DUS mengeluarkan senjata pemungkasnya, menangis dan masuk ke kamar. Penulis mengikuti DUS ke kamar seraya membujuk, tidakkah ingat kepada B. Sembiring yang datang dahulu ke rumah kita? Kan, ada nasehatnya? DUS diam, lalu penulis mengusap-usap tangannya, sampai ke punggung, hingga ia tertidur. Satu jam kemudian ia bangun, dan ia tidak merasa sakit lagi. Rupanya panas manusia dapat “di-transfer”dari manusia satu ke ma-nusia lain.
Beberapa minggu kemudian, penulis melihat DUS mengeluarkan panci yang isinya tinggal sedikit, dan panasnya tidak seberapa, “Tolong, taruh panci di pinggangku.” Tindakannya menyuruh penulis, menaruh pan-ci di pinggangnya, karena penulis sudah lumpuh sebelah, tidak mampu mengatur panci itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar