Buah tawi populernya disebut buah merah. Kulit buah tawi itulah dimakan penulis mulai dari akhir Juli sampai dengan pertengahan Desem- ber 1966, karena krisis ekonomi masih berlangsung di Indonesia.
Ketika tiba di Kelila tanggal 20 Juni 1966 itu, yang waktu itu pe-nulis membawa jatah beras sebanyak 20 kg dari Jayapura (waktu itu masih bernama Sukarnapura). Mendapat beras sebanyak itu karena alasan, kami akan berangkat ke pedalaman, kalau tidak demikian hanya 4 kg didapat. Maklumlah waktu itu ekonomi Indonesia masih morat-marit.
Suatu hari Kepala Sekolah mengajak penulis agar mau memakan buah merah, sebab katanya, “Kalau tidak mau memakan tawi, ambil di mana beras pengganti makanan di pedalaman ini?”
Buah tawi yang rata-rata panjangnya 65 cm, dibelah empat, kemu-dian bagian dalam dikorek dan dibuang. Biasanya pekerjaan mengorek di-kerjakan oleh laki-laki. Di pihak lain ada orang mencari daun ubi jalar yang special; ubi jalar yang tidak mungkin mempunyai umbi. Ada juga orang mencari umbi ubi jalar dan langsung mencucinya. Yang lain meng-gali tanah untuk menaruh makanan. Tak kalah pentingnya adalah mem-bakar batu sampai membara, memang batu bakar batunya juga special; ba-
tu setelah panas jarang yang pecah.
Setelah batu membara, lalu dengan kayu penjepit batu itu dima-sukkan ke dalam tanah yang telah digali. Selanjutnya ditaruh sedikit rum-put di atas batu, supaya ubi yang ditaruh di atasnya jangan sampai go-song. Di atas ubi jalar, diletakkan tawi yang telah dikorek bagian dalam-nya itu, dan pekerjaan terakhir sayuran, seperti daun ubi jalar, kool, sawi. Supaya panas cukup untuk memasakkan makanan, rumput pelapis makan-an sengaja dibiarkan terjurai, ditutupkan sebelah atas lalu ditindis dengan batu. Kira-kia satu jam kemudian, atau makanan diperkirakan telah ma-sak, rumput terjurai tadi dibuka. Tawi itu segera diambil lalu diletakkan di atas tengkap (piring kayu berbentuk lonjong), didinginkan sejenak. Setelah
cukup dingin, tawi yang dicampur sedikit air, diperas hingga lemak kulit lepas semua, katakanlah dagingnya yang berwarna merah lepas dari bi-jinya. Biji yang sebesar sedotan gelas aqua gelas dan panjangnya kira-kira 3 cm dibuang, dan daging berwarna merah itulah dimakan. Kalau anak-anak sekolah yang ikut kami, mengaduk yang merah itu dengan ubi jalar atau daun ubi jalar di atas tengkap, sedangkan sebagian lemak tawi yang sudah diramas dengan ubi jalar ditaruh dalam piring lalu dibawa kepada guru. Oleh guru, mengaduk lemak tawi dicampur ubi jalar dan ada pula di-campur dengan daun ubi, sedangkan kepada penulis hanya mau dengan ubi jalar dan lemak tawi. Memakan tawi celana akan berwarna merah, wa-laupun dubur dicuci dengan bersih, mungkin karena banyaknya dimakan, itulah kelainan lemak buah tawi.
Kami guru-guru ataupun pegawai-pegawai di pedalaman tidak ta-hu tawi dapat menjadi obat, tetapi penulis mempunyai pengalaman tentang tawi, seperti diuraikan di bawah ini.
Pada tahun 1969 penulis dengan isteri (D.U. Sembiring) sudah ber
ada di Karubaga. D.U Sembiring yang sejak SMP mempunyai benjolan sebesar telur bebek di leher, benjolan itu tidak membesar, tetapi benjolan itu cukup membuat D.U kurang percaya diri karena selalu diejek, apalagi ke sekolah melewati terminal bus Kabanjahe. Dia bersekolah di SPG Kabanjahe dan tinggalnya di asrama Yon Simbisa, yang seharusnya ia se-kolah melewati terminal, tetapi karena selalu diejek, terpaksa ia meng-ambil jalan melambung menghindari terminal.
Di Karubagapun tawi ada, sehingga kebiasaan memakan tawi se-perti di Kelila, dilaksanakan juga di Karubaga. Kalau penulis makan tawi hanya dicampur dengan ubi, tetapi DUS memakan tawi dengan daun ubi jalar atau dengan sayur-sayuran, mau juga. Hebatnya DUS mau duduk de-ngan anak sekolah yang selalu datang maupun dengan orang kampung yang selalu datang ke rumah kami. Kalau anak sekolah memakan tawi, di situ DUS ada, duduk bersama memakan tawi. Istimewanya, sejak mema-kan tawi itu, benjolan di leher DUS, hilang sama sekali, apakah tawi mem-buat hilang atau tidak, kami tidak tahu.
Kami di Karubaga hanya satu setengah tahun; selanjutnya kami tinggal di Jayapura. Di Jayapura penulis setiap hari mengantar cucu ke SLB. Salah satu guru SLB itu, isterinya mempunyai penyakit sama seperti DUS, ada benjolan di leher. Isteri guru itu diperiksa ke RSUP di Dok II Ja-pura. Setelah beberapa kali diperiksa, dokter menganjurkan agar dioperasi saja. Si guru maupun isteri bersedia dioperasi, yang akan dioperasi hari Se-
lasa. Setelah tiba hari operas, suami dan isteri pergi ke RSUP untuk dio-perasi, tetapi, nyatanya ditunda hingga hari Selasa berikut. Begitulah, sudah tiga kali hari Selasa dilalui, belum juga dioperasi. Rupanya pihak RSUP ragu mengoperasi leher itu. Memang DUS mengatakan, dia tidak jadi dioperasi karena benjolan itu berada di daerah rawan.
Waktu itu sedang gencar-gencarnya kabar penemuan lemak tawi dapat mengobati penyakit HIV/AIDS, di kantor-kantor maupun di surat kabar. Guru di SLB itu mau coba-coba, setelah sebulan menelan lemak tawi, hasilnya benjolan di leher isteri guru, hilang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar