Apabila ada orang yang baru dating di Papua akan ada orang berseloro, “Belum dapat jatah malaria, ya.” Orang baru datang itu akan nyengir-nyengir, antara takut dan ragu-ragu. Memang ketika penulis baru tiba di Papua, tidak jauh dari pelabuhan, ada reklame peninggalan tentara Amerika, yaitu gambar nyamuk menusuk bokong manusia dan di situ ada tulisan berbahasa Inggris, yang artinya, lebih berbahaya bayonet nyamuk daripada bayonet musuh. Maksudnya bayonet nyamuk adalah belalai nya-muk. Memang benar, seperti teman penulis yang seligtingdengan penulis, ia selalu demam. Setiap teman itu demam, ia menelan obat penurun panas, seperti antalgin. Penulis menganjurkan agar menelan obat malaria (kloro-quine), tetapi jawabnya, nanti kebal. Pada hal ia mendapatkan obat malria, gampang, karena isterinya seorang suster yang bekerja di RS. Pembantu. Mungkin isterinya yang mengajarinya tentang hal kebal itu, sebab sewaktu Belanda berkuasa, manteri-manteri kesehatan zaman itu yang mengajari tentang kebal itu. Nyatanya teman seligting penulis itu, lama-kelamaan berjalannya miring, rupanya limpanya sudah mulai membengkak yang a-khirnya pecah, dan teman itu meninggal dunia. Kalau sakit malaria tertiana prosesnya seperti yang sudah diceriterakan itu. Jika sakit malaria tropika, kata manteri kenalan penulis, kalau sudah tiga hari tidak turun panasnya, lebih baik orang itu mati, sebab kalaupun sembuh, orang itu akan tidak bisa berbuat apa-apa; menjadi beban keluarga selama hidupnya, sebab itu hati-hati nyamuk.
Selanjutnya, karena yang diceriterakan di sini tentang pengalaman di Kotaraja maka penulis menceriterakan sedikit mengenai keadaan Kota-raja, supaya pembaca tidak bingung.
Kotaraja, ketika Belanda meninggalkan Papua, masih hutan lebat, dan banyak rawa-rawa. Ketika Indonesia berkuasa, didirikanlah Asrama Brimob dan Asrama Tentara yang disebut Bucend IV. Karena sekolah YPK berada 2 km dari pinggir jalan besar, maka muncullah istilah “Kota-raja Dalam” untuk sekolah YPK, dan “Kotaraja Luar” untuk kedua asrama itu, termasuk komplek SD Negeri Kotara. Beberapa tahun kemudian, didirikan Perumahaan pegawai yang disebut Pemda II, tetapi karena yang membangun PT. Cigombong maka lebih populer nama Cigombong dari-pada Pemda II. Begitu pula Pemda III, lebih populer nama Melati daripada Pemda III, karena yang membangun PT Melati. Di Cigombong maupun di Melati itu ada rumah dokter. Begitu pula di Bucend IV, ada rumah dokter. Di rumah dokter, sore hari ia membuka praktek. Demikian pula di depan rumah penulis, ada juga perumahan pegawai, disebut Perumahan Sehat. Di depan komplek penulis ada juga dokter. Lama-kelamaan berdiri pula Perumahan DPR, bahkan Kotaraja menjadi satu dengan Abepura, yang tadinya hutan, menjadi kota.
Demikianlah, anak kami yang ketiga berumur 3½ menderita de-mam panas, dan biasanya jika anak panas, kami langsung beri obat satu ta-blet kloroquine. Waktu itu sudah mudah mendapatkan obat malaria. Sa-yangnya anak kami itu, sudah dua hari menelan obat tidak ada tanda-tanda akan turun panasnya. Jika dilanjut, penulis khawatir anak keracunan obat. Oleh sebab itu kami bawa anak itu ke dokter. Dokter itu baru datang di Kotaraja (Jayapura), dan ia memberi kloroquine ½ tablet. Penulis bilang, sudah diberi kloroquine 1 tablet, maka ½ tablet dosisnya terlalu rendah. “Coba saja dulu,” kata dokter itu. Karena ia dokter, penulis menurut saja, yang akhirnya kami pulang ke rumah. Pukul 2.00 sore anak itu menga-takan, “Mau muntah, pak.” Ya, muntah saja, kata penulis. Tiba-tiba pe-nulis melihat mata anak itu, terbelalak. Penulis pikir, anak itu sudah mati, karena penulis belum pernah melihat orang step. Dengan tanpa baju, penulis gendong anak itu ke sekolah, sebab ibunya masih mengajar. Ia da-tang dengan buru-buru, seraya mengucapkan, “Sudah mati anakku.” Kepa-la sekolah datang pula, katanya, “Anak ibu step, bawa segera ke dokter.” Kami bawa anak itu ke dokter, ke dokter yang telah memberi obat anak kami ½ tablet. Dokter itu dengan dimulainya mengucap, disuntiknya anak itu. Setelah disuntiknya kamipun pulang ke rumah. Orang-orang di kom-plek sekolah gempar karena stepnya anak itu. Sorenya teman-teman datang yang akhirnya tidur di rumah kami. Begitulah persaudaan kami waku itu di Jayapura, sangat toleren, walaupun dari lain suku.
Sudah malam, anak kami belum juga sadar. Mengingat ucapan-ucapan manteri, kami orangtua anak sangat cemas. Malamnya kami semua tidak tidur-tidur, dan anak itu belum juga sadar, bahkan ia tidur terus-me-nerus, mungkin dia diberi dokter itu tadi obat tidur yang digiling yang di-campur dengan obat malaria.
Hari sudah pagi, teman-teman itu pergi karena mereka juga pega-wai. Sorenya meraka sudah datang pula, anak kami belum juga sadar. Te-tapi tengah malam anak itu mengigau, “Bapak marah, saya tidak mau ikut kamu, saya mau pulang,” begitu igau anak itu. Mendengar igauan anak itu, penulis baru sadar, anak itu akan sadar. Esoknya, kira-kira pukul 6.00 pagi, anak itu bangun, seraya dia meminta minum. Saya beri minum teh manis, tetapi ia masih panas, panasnya tidak seberapa. Panas tidak seberapa itu sampai tiga hari, barulah panas anak itu normal. Seminggu kemudian anak itu rewel, pertanda akan sakit lagi. Penulis beli obat kloroquine di depot obat di Abepura. Kemudian diberikan sesuai dengan aturan. Hilang lagi panasnya, tetapi 2 minggu kemudian kambuh lagi. Kami tidak bawa lagi ke dokter praktek, karena kami masih trauma. Ke Puskemas juga tidak karena kalau ke Puskemas harus pagi dan selesainya sampai setengah hari. Beli lagi kloroquine, diberikan, .turun lagi panasnya. Teman-teman meng-anjur, agar darah anak diperiksa di suster ibu Sihotang. Ibu Sihotang mem-punyai mikroskop untuk periksa darah. Beigitulah, anak itu kami, kami bawa ke ibu Sihotang. Memang benar, di darah anak itu masih ada bibit malaria, tetapi saat itu anak tidak panas. Oleh sebab itu, sesampai di ru-mah, penulis pergi ke depot obat, yang waktu itu di Abepura belum ada apotek. Di depot obat itu dipajang obat malaria, di antaranya malarex dan kinine (kina). Penulis meminta brosurnya, dalam brosur, kalau malarex cendrung sama dengan kloroquine, tidak menyinggung malaria mana diobatinya, sedangkan kina, menurut brosurnya, paling manjur mengobati malaria tropika. Penulis membeli 3 kemasan (30 butir), sebab begitu di-anjurkan brosur. Setelah dibayar, penulis pulang ke rumah. Sesampai di rumah, penulis jelaskan cara kerja kina, kepada isteri lalu isteri menangkis, “Itu reklame, supaya laku.” Walaupun isteri menangkis, tetapi penulis percaya kepada brosurnya. Obat kina diminumkan kepada anak sampai lima hari, setelah dua minggu diperiksa lagi darahnya, ternyata masih ada bibit malarianya. Diberikan lagi kina ¾ tablet, dengan cara melumatkan obat pada sendok, dicampur air, lalu diminumkan sampai lima hari. Sete-lah dua minggu, diperiksakan lagi darahnya, masih ada bibit malaria. Pe-nulis belum jera, diberikan lagi obat kina, setelah dua minggu, diperiksa lagi darahnya, masih ada bibit malarianya. Pada kali keempat, setelah dua minggu, diperiksakan lagi darahnya, “Masih ada bibit malarianya, tetapi sudah patah-patah, ito,” kata ibu Sihotang. Mendengar sudah patah-patah, diminumkan lagi obat malaria/kina, setelah dua minggu, diperiksakan lagi darah anak itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Tetapi ibu Sihotang mengata-kan, “Jangan menganggap sudah aman malarianya, ito. Tetap awaspada dengan nyamuk.”
Adapun nyamuk adalah pengedar bibit malaria, kalau bibit mala- ria tropika pengantarnya adalah nyamuk anopeles, kalau malaria tertiana dikembangkan oleh nyamuk tertiana. Dan bila tetangga yang sudah de-mam, kalau nyamuk dari tetangga itu terbang ke rumah kita, nyamuk itu bersembunyi pada pakaian, yang ada bau keringat sangat disenangi nya-muk, malam-malam ia akan mencari makan. Digigitnya kita, kita akan sakit malaria. Apalagi di rumah kita ada yang sakit, semua yang tinggal di rumah itu akan sakit, gara-gara ada nyamuk yang menyebarkannya. Tidak semua nyamuk menyebarkan bibit malaria, kata orang, di Taive (peda-laman/sungai Mambramo, Papua, kalau berjalan harus dikipas-kipas de-ngan daun-daun untuk mengusir nyamuk) apalagi malam hari. Walaupun nyamuk berdengung karena sangkin banyaknya, tetapi tidak ada orang sakit malaria di Taive.
Ada mengatakan, nyamuk itu pintar, lantaran, nyamuk dapat ma-suk melalui celah walaupun di bawah pintu sudah dijejal dengan kain-kain. Sebenarnya nyamuk masuk bukan melalui celah pintu, tetapi melalui pin-tu. Coba Anda perhatikan, pada malam hari dengan membawa senter Anda keluar rumah, kemudian Anda masuk lagi, ketika Anda membuka pintu, nyamuk lebih dahulu masuk daripada Anda, yang dapat dilihat ketika nyamuk beterbangan kena sinar dari senter. Dan jangan dianggap sudah aman kalau Anda sudah pakai kelambu. Sebab kelambu dapat ditembus oleh belalai nyamuk. Ketika Anda tidur, tetapi anggota badan Anda sandar ke pinggir kelambu, sehingga nyamuk berhasil menembus kelambu lalu menghisap darah Anda. Oleh sebab itu, sebaiknya ranjang tempat tidur Anda dipasangi papan keliling, agar anggota badan sandar tidak ke ke-lambu saja, melainkan ke papan.
Selanjutnya, melalui tulisan ini penulis menyampaikan penga-laman, bahwa karena penulis sudah pernah kena malaria, yang apabila penulis kehujanan, satu hari kemudian flu penulis muncul, yang walaupun telah menelan obat flu, flu tidak hilang. Tetapi setelah penulis menelan obat malaria, barulah flu (malaria) itu hilang. Begitu pula kalau anak Anda mandi-mandi terlalu lama, karena sudah pernah kena malaria, malarianya akan kambuh. Ataupun kalau meminum air es, air kelapa muda, dan lain sebagainya, penyakit malaria kambuh, pertanda bibit malaria masih ada dalam tubuh. Oleh sebab itu kita harus waspada. Menurut orang, selama 14 tahun penyakit malaria tidak kambuh-kambuh, barulah dikatakan penyakit malaria kita sudah hilang, itupun kalau mengidap penyakit malaria ter-tiana. Lain dengan malaria tropika, malaria tropika seperti diceriterakan penulis terdahulu, malarianya hilang setelah melalui beberapa kali mene-lan obat dan beberapa kali pemeriksaan darah.
Dilanjutkan lagi, berdasarkan pengalaman seperti yang diuraikan; apabila mandi terlalu lama, meminum air es, meminum air kelapa muda, yang mempengaruhi suhu badan, penyakit malaria akan kumat. Oleh kare-na itu, ketika kami sekeluarga cuti ke kampung, kepada anak-anak penulis mengingatkan, perjalanan kita ke Papua, sangat jauh. Jangan lama mandi, jangan meminum air kelapa muda dan lain sebagainya. Kalau penulis ada, tentu anak-anak mendengar nasehat itu, karena takut dimarahi. Tetapi keti-ka penulis pergi membeli tiket, anak-anak merasa bebas. Mereka mandi-mandi pada air berlumpur di sawah, meminum air kelapa muda, dan kela-panya diaduk dengan gula merah. Kata kakek mereka, “Besok kalian sudah pulang, silakan kalian minum air kelapa muda.”
Sekembali penulis tiba dari membeli tiket, penulis melihat kulit kelapa muda bertebaran dan rambut mereka masih basah. Dalam hati pe-nulis, celaka, pasti di antara anak-anak akan ada diserang malaria. Betul, anak kedua setiba di Jakarta, badannya panas. Penulis langsung membeli obat malaria ke apotek, ternyata pihak apotek mengatakan, “Obat malaria tidak sembarang dijual, harus melalui dokter.” Kebetulan pesawat terbang yang membawa kami, enam hari lagi baru berangkat ke Papua. Sambil me-nunggu keberangkatan, kami pergi ke Bandung. Di Bandung pun cepat-ce-pat penulis pergi ke apotek di Jln. Pasir Kaliki. Ternyata di Bandungpun pihak apotek juga mengatakan,”Tidak boleh obat malaria dijual semba-rangan, harus melalui dokter.” Karena di apotek ada dokter, penulis me-manggil anak yang sakit itu, lalu diperiksakan ke dokter di apotek itu. Kata dokter, “Anak ini menderita sakit flu berat.” Bukan sakit malaria, dokter, tanya penulis. “Tidak,” jawab dokter. Karena kami lima hari lagi baru ber-angkat ke Papua, tolongah, dokter, kata penulis. Dokter tidak berkomentar, seraya ia memberikan resep obat flu itu.
Adapun anak kami, semuanya pernah darahnya diperiksa karena kena sakit malaria, dan ternyata malarianya adalah tertiana, yang apabila kambuh, diberi obat flu saja bisa turun panasnya, tetapi belum sembuh; bibit malarianya akan bersembuntyi di limpa atau di hati. Seperti anak kami nomor 2 itu, mau ikut berjalan-jalan ke Tangkuban perahu, tetapi ia tidak segar.
Singkat ceritera, ketika kami tiba di Kotaraja, Jayapura, penulis langsung membawa anak yang sakit itu ke dokter Ny. Tony Iman di Bu-cend IV. Setelah anak kami dipasang thermometer di ketiaknya, dan di- suruh membuka mulut, dilihat dokter dengan dibantu sinar senter, lalu kata dokter, “Sudah,” seraya memberikan obat kloroquine. Penulis bertanya, mengapa di Bandung dikatakan dokter anak ini menderita sakit flu berat?” “Mungkin Bapak tidak memberitahu bapak dari Papua.” Penulis tercengang mendengar jawaban dokter,”tidak memberi tahu Bapak dari Papua.”
Sabtu, 05 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar