Sabtu, 05 Februari 2011

MENDERITA KARENA SAKIT MAAG DI TANAH PAPUA

Tinggi badan penulis 165 cm, berat badan rata-rata 50 kg kalau pe-nulis merasa sehat. Kadang mencapai 55 kg kalau sehat betul. Dengan ting
gi 165 dan berat 50 membuat penulis kurang pd (percaya diri) kalau mau bergaul.
Pada Februari 1966, ketika penulis berumur 26 tahun kampung ha-
laman ditinggalkan, selanjutnya penulis menuju Papua.
Juni pada tahun itu juga, penulis telah tiba di Kelila, Pegunungan Tengah, Jayawijaya. Kedatangan penulis tampaknya Kepala Sekolah ku-rang simpati, penulis tidak mengerti apa sebabnya ia tidak simpati kepada penulis, apalagi penulis baru datang. Di Kelila itu, guru hanya dua orang. Rumah yang disediakan bagi penulis, tidak jauh dengan rumah Kepala Sekolah. Oleh sebab itu, apabila teman-temannya datang, kalau mereka bersemangat berceritera, dengan jelas terdengar apa yang mereka perbin-cangkan.
Demikianlah, kawan sekampung Kepala Sekolah datang, 1 orang dari Jayapura, lainnya satu keluarga dari Bokondini. Pertemuan mereka tampaknya sangat berbahagia. Dalam kebahagian mereka itu, terdengar ucapan, “Do, do, do komang, kitong pe pung kampung, pagi-pagi harus smokol (makan banyak) baru bekerja, orang trada kurus, semuanya sterek-sterek.
Setelah dipikir-pikir, dengan kata-kata “smokol dan kita pe pung kampung trada orang kurus,” yang mereka perbincangkan adalah pribadi penulis yang kurus kerempeng. Dikira mereka, penulis kurus kerempeng karena kurang makan. Sampai-sampai Kepala Sekolah itu bertanya, “Pak Tarigan di kampung susah cari makan, ya,” Saya sambut dengan senyum saja, tak menjawab sepatah katapun. Hanya dalam hati berkata, kalau kuper (kurang pergaulan) memang dirinya yang paling hebat, tetapi karena kata-kata mereka itu, mendorong penulis bertekad, kalau cuti nanti, harus melewati setidaknya pelabuhan Bitung.
Sudah memasuki bulan Januari 1969, teman penulis dari Ilaga be-lum datang juga. Pada kesempatan begitu panjang, penulis berjalan-jalan sekitar kota Jayapura. Pada suatu hari penulis dengan teman yang lain, yang badannya gemuk, kami mau masuk ke pelabuhan, teman itu dengan melenggang melewati penjagaan tanpa hambatan, ia dengan bebas masuk, yang waktu itu mulai ditertibkan bagi orang keluar masuk pelabuhan. Sial sekali bagi penulis yang kurus kerempeng ini, penulis didorong keluar, pe-nulis cuma senyum saja, karena penulis tahu bahwa dirinya kurus, se-dangkan teman itu gemuk, ia lewat saja, dikira penjaga pintu, teman penulis itu bos.
Tekad penulis tercapai, tanggal 1 Februari 1969 KRI. Bujuralasat masuk pelabuhan Jayapura, dan ABK kapal itu mengatakan, Bujuralasat lewat Bitung, dan menerima penumpang. Kawan dari Ilaga kebetulan juga sudah datang dan kami terus beli tiket yang hanya selembar kertas kepada masing-masing orang. Memang kapal itu kapal perang, dan tugasnya membuat peta laut. Kapal itu kamarnya hanya untuk ABK, sedangkan ka-mi penumpang tidak resmi hanya di palkanya yang beratapkan terpal, dan dua meter dari permukaan laut dan tidak berdinding, sehingga kami dapat menikmati keindahan pantai laut yang curam mulai dari Pelabuhan Papua sampai Bitung. Begitulah waktu itu, tranportasi baik laut maupun udara ti-dak selancar sekarang ini.
Kapal berlayar sudah 4 hari, dan kami sudah tiba di pelabuhan Bi-tung. Penulis melihat nona-nona dengan kole-kolenya menjajakan pisang ambon, bagea (sebangsa roti terbuat dari sagu berbungkuskan daun rum-bia) dan lain-lain. Melihat nona-nona itu membuat penulis tercengang, ter-cengang karena mengingat omong besar guru di Kelila. Lagi pula, dari pa-kaian nona-nona itu membawa penulis berpikir, bahwa ekonominya sama saja dengan di kampung penulis. Rupanya merantau mental harus kuat, se-bab lain daerah lain caranya bergaul.
Singkat ceitera, setibanya di kampong segera diadakan pesta per-nikahan, dan pada Juli 1969 kami sudah berada kembali di Jayapura. Pe-nulis ingin pindah ke tempat lain, karena kalau kembali ke Kelila penulis khawatir, akan disindir-sindir lagi, jelas isteri tidak tahan disindir membuat penulis susah, isteri ( D.U Sembiring, yang disingkat DUS sedang me-ngandung). Ketua YPPGI juga setuju, kami pindah ke Karubaga, itupun hanya satu setengah tahun saja, lalu pindah lagi ke Jayapura. Kami men-dapat perumahan dinas di samping Asrama Brimob, Kotaraja. Kurus ke-rempeng tetap menyertai penulis.
Tidak lama berselang, warung gado-gado berdiri di samping ru-mah. Gado-gado kesenangan penulis, dan akibat memakan gado-gado ter-lalu sering, atau sejak memakan gado-gado membuat penulis cepat lapar. Pukul 07.00 pagi penulis sudah makan dari rumah, tetapi di kantor pada pukul 09.00 sudah lapar, kemudian pukul pukul 11.00 sudah lapar lagi. Su-dah beberapa hari berselang lapar dijalani dan belum ke dokter. Setiap buang air besar (BAB), dalam tinja ikut nasi, sayur dan lain sebagainya masih utuh. Lama-kelamaan ada kekhawatiran penulis, bagaimana makan tidak hancur dan cepat lapar, yang mendorong penulis pergi ke rumah sakit untuk diperiksa. Di rumah sakit, penulis disuruh naik ke tempat periksa. Ternyata, setelah diperiksa, penulis dianjurkan makan obat selama tiga ha-ri dan kurangi memakan pedis-pedis, kopi, dan minum asam-asaman, juga diharuskan meminum susu. Sebenarnya, penulis setiap kali meminum,
susu, langsung muntah, tetapi dokter mengatakan, sesudah menelan obat ini nanti, tidak muntah lagi. Diberikan dokter resep untuk ambil obat di Bagian Obat. Waktu itu tidak ada apotek untuk umum di Jayapura. Obat-obat hanya ada di Bagian Obat Rumah Sakit. Setelah resep dimasukkan di loket lalu penulis duduk di ruang tunggu. Jam sudah menunjukkan pukul 2.00 sore, tetapi penulis belum-belum juga dipanggil. Ketika jam sampai 2.30, kenalan penulis yang bekerja di rumah sakit itu, datang dan bertanya.
Jawaban penulis, menunggu obat. Dimintanya tanda bukti mengambil o-bat, dan ia langsung ke kamar obat. Hanya sebentar saja, ia sudah datang lagi. Ia mengatakan, “Abang sakit maag, hati-hati memakan makanan, ti-dak apa-apa.” Nasehat itu membuat penulis khawatir, dan takut. Obat dibawa pulang dan ditelan sesuai dengan anjuran dokter. Obat itu sangat membantu, tetapi setelah tiga hari obat telah habis, dan karena setiap ber-obat, dapat obat hanya untuk tiga hari sehingga ada usaha mencari obat di toko-toko, sebab waktu itu apotek umum belum ada di Jayapura. Usaha berhasil, ada obat dari Negeri Belanda bernama Roter. Menurut broser yang ada dalam kaleng Roter, setelah menelan obat Roter, tinja akan ber-war hitam. Betul tinja yang dikeluarkan hitam, dan enak buang air besar (BAB); tidak seperti waktu sakit maag itu, kadang tiga hari baru ke be-lakang, itupun keras dan dubur dikorek-korek dengan jari, baru tinja ke-luar, bila dikorek-korek tinja itu, di dalamnya terdapat makanan masih utuh. Kalau sudah menelan obat Roter, tiap pagi harus BAB. Tinja menjadi hitam dan lembek.
Sementara menggunakan obat Roter, ada pemberitahuan melalui koran, obat dari Luar Negeri (Roter dan Ciba) dilarang berredar di Indo-nesia, obat itu membuat orang lumpuh. Mendengar pemberitahuan itu, pe-nulis menjadi cemas, tetapi ada pula yang membantah yang datangnya da-ri DEPKES, katanya, Indonesia makan batu, tidak apa-apa. Kata “makan batu” tentu kata menggeledek “menggeledek”, yang arti sesungguhnya, obat itu tidak berbahaya kalau ditelan. Memang, selama penulis bertugas di pelaman Papua, tidak ada orang lumpuh karena menelan obat Ciba, Ciba didapat secara gratis dari Poliklinik Missioner.
Setelah enam bulan Roter ditelan, tubuh penulis menjadi tidak ku-rus lagi. Dan waktu itu, kebetulan kami sekeluarga mendapat cuti ke kam-pung halaman. Orang-orang sangat terkejut melihat tubuh penulis karena sudah gemuk. Datanglah kakak ipar, yang menurut pendapat kami, kakak ipar itu dating, untuk menjenguk kami. Ternyata kami keliru, kakak ipar datang hendak menyampaikan keluhannya, yang baru saja ia dioperasi ka-rena tidak bisa BAB.Rupanya ketika ipar itu datang, penyakit BAB kam-buh lagi. Tentu kami tidak bisa membantu, walaupun penulis telah mele-wati masa susah BAB. Namun demikian, kami berikan juga 10 tablet Roter, yang kami bawa dari Jayapura.
Seteleh satu bulan di kampung, kami kembali ke Jayapura. Setelah setahun kemudian, anak kami yang ketiga, lahir. Kami selaku orangtua he-ran melihat tinja anak itu, tinjanya mengandung bercak putih, seperti susu sudah mengental. Apakah bercak putih itu dari susu, atau tidak, kami tidak tahu. Memang anak kami mendapat ASI hanya sedikit, ASInya tidak sem-purna. Selanjutnya bayi kami hanya meminum susu kaleng.
Sekitar setelah dua atau tiga bulan sesudah anak itu lahir, ia tidak bisa BAB, perutnya gembung seperti balon. Kami coba gosok dengan minyak kayu putih yang dicampur bawang merah, hasilnya nihil. Ususnya yang melingkar-lingkar dalam perut sudah dapat dilihat dari luar. Penulis ajak isteri untuk berbincang-bincang tentang perut bayi itu. Kalau bayi itu dibawa ke rumah sakit, kami yakin bayi itu akan dioperasi. Tetapi meng-ingat kakak ipar sudah menjalani operasi kedua, tetapi meninggal dunia
juga. Oleh sebab itu, kami tidak bawa bayi kami ke rumah sakit. Kami rencanakan bayi itu diberi Roter stok lama, kami sudah siap dengan resiko apapun yang akan terjadi. Yang dimulai dengan berdoa, obat Roter diam-bil, dilumat di dalam sendok teh, lalu diberikan kepada bayi. Kira-kira satu jam kemudian, bayi kami buang angin, kemudian disusul BAB. Kami ti-dak ingat berapa lama bayi itu menelan obat Roter, mungkin beberapa hari saja karena sudah sembuh. Kenyataannya, anak kami tidak mengalami ke-lumpuhan, anak kami menjadi dewasa dan sudah mempunyai anak. Yang cacat karena kena minyak kayu yang dicampur dengan bawang merah, ada, tetapi bukan Roter. Tetapi anehnya orang tidak percaya akan peng-alaman kami. Ada orang bayinya mengalami seperti bayi kami, lalu kami ceriterakan ke bapak bayi, dan ia percaya, dan ia terus membeli Roter ka-leng isinya 40 tablet. Sayangnya, isterinya tidak percaya, ia lebih cendrung percaya ke dokter orang Barat, walaupun dokter orang Barat itu menga-takan, nanti akan ada cacat. Nyatanya anaknya sesudah sembuh, bisu.
Mengenang semua apa yang sudah terjadi pada diri penulis, penu-lis menjadi sadar bahwa penyebab kurus kering penulis adalah karena makan yang ditelan tidak dicerna dengan baik, sehingga makanan itu be-gitu saja lewat dalam perut; makanan ditelan tidak membantu per-tumbuhan badan.
Pernah penulis berintermezo dengan perempuan, yang menurut per
kiraan penulis perempuan itu mengalami seperti penulis, kurus kering, di kantor. Penulis ceriterakan keadaan penulis, tentang susah BAB, dan ibu pasti sakit maag, begitu ceritera penulis. Perempuan itu menangkis, “Kau seperti dokter saja, tahu orang susah BAB.” Penulis jelaskan riwayat pe-nyakit maag penulis. Rupanya pembicaraan penulis menjadi perhatiannya juga, walaupun ditangkisnya. Ketika penulis keluar dari ruangannya tem-
patnya bekerja, diikutinya sampai di gang ruangan. Tiba-tiba di salah satu sudut gang, ibu itu bertanya, “Apa nama obat itu?”
Tahun terus berganti, Roter memang sudah tidak ada lagi di toko-toko. Obat maag dari Jakarta mulai terlihat di apotek. Pada waktu itu su-dah ada apotek di Jayapura dan disitulah ada obat maag, bahkan di etalase toko-toko juga sudah dimulai dipajang, katakanlah nama obat itu A,B, dan C.
Semula, apabila perut kembung dan perih, jika diisi makanan se-dikit saja, langsung buang angin dan rasa perih terasa hilang. Tetapi lama-kelamaan, walaupun diisi makanan, perut tetap gembung. Penulis coba menelan obat A, ternyata berhasil, tetapi hasilnya tidak seperti Roter. Ka-lau Roter, seperti diungkap semula, tinja menjadi lembek dan berwarna hitam.
Obat A lama-kelamaan tidak mempan lagi. Penulis beralih ke obat B, semula berhasil, tetapi seperti obat A. mula-mula berhasil, lama-kela-maan menjadi kebal. Beralih ke obat C, C cendrung seperti Roter, tinja lembek, tetapi mahal harganya jika dibandingkan dengan A atau B. Akhir-nya penulis berganti-ganti menelan obat maag, tetapi tetap sakit maag.
Penulis pernah berbincang-bincang dengan seorang dokter hewan, yang kantornya berdekatan dengan kantor penulis. Yang penulis tanyakan, mengapa dirasakan agak nyaman di perut, apabila memakan rebusan bu-nga atau daun pepaya. Dokter itu balik bertanya, “Direbus dicampur de-ngan daun apa ?” Jawab penulis, dengan daun giawas (kalau di daerah lain namanya daun jambu). Dokter itu menjawab, “Ya, daun giawas itu ter-masuk bahan penyamak kulit”
Dari penjelasan dokter itu, penulis berkesimpulan bahwa, usus o-rang penderita sakit maag, seperti, yang apabila kita memotong ayam, usus
nya dibawa ke sungai untuk dibersihkan, usus itu akan menarik pasir atau daun apa saja, dan susah mengeluarkan benda-benda itu, karena ada zat di usus itu. Zat itulah mulai berkurang pada usus orang sakit maag. Dugaan penulis, tentang berkurangnya zat itulah yang membuat orang sakit maag. Dugaan itu dari karena penulis hobi/suka menghisap air jeruk nipis, dan selalu membersihkan usus ayam.
Mengingat pada warung mudah mendapat/membeli obat maag. pertanda banyak orang sakit maag, yang apabila sakit maag langsung membeli obat dan menelannya. Menelan obat maag bukanlah solusi, sebab ada penulis lihat, setiap penyakit maagnya kambuh langsung ia membeli obat maag dan menelannya. Lama-kelamaan obat itu tidak mempan lagi, ia selalu menderita perut sakit rasa perih, yang akhirnya orang itu pergi ke dokter praktek, lalu sang dokter mengatakan, kalau sakitnya sebelah kanan, itu sakit usus buntu atau ada kuman. Kata dokter lagi, ibu segera pergi ke Rumah Sakit, karena kalau sempat usus buntu itu pecah akibatnya berbahaya. Dokter menerbitkan surat rujukan untuk dibawa ke Puskemas. Dari Puskesmas, karena ibu itu mempunyai kartu Askes, langsung dirujuk ke RSPAD. Melihat surat dari Puskedmas itu, RSPAD mencurigai ada kanker usus, karena ibu itu pernah dioperasi tumor kandungan. Peralatan untuk memeriksa usus di RSPAD tidak ada, maka ibu itu dikirim lagi ke RSCM. Di RSCM, kepada ibu itu, melalui duburnya dimasukkan cairan. Singkat ceritera, setelah melaui pemeriksaan, nyatanya ibu tidak ada pe-nyakit usus buntu, tidak ada kuman di usus, dan tumor juga tidak ada. Memang suami ibu itu pernah mengatakan, seperti dikatakan Hembing (penulis tidak tahu pendidikannya dan jabatannya, dan ia pernah membe-rikan penyuluhan kesehatan melalui TV, TVRI?) kata beliau, hindari makanan goreng-gorengan, hindari makanan pedis-pedis, asam-asaman, makanlah bangsa sayur terung, dan lain-lain. Dan penulis masih ingat ke-tika berobat di Dok II, Jayapura, dokter mengatakan, jauhi pedis-pedis, lemak-lemakan, dan asam-asaman, Menghindari makanan itulah solusi yang terbaik, dan obat maag solusi kedua. Memang susah meghindari makanan itu, tetapi kalau mau umur panjang, harus menghindari makanan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar