Sabtu, 05 Februari 2011

BAYI SETAHUN MENDERITA SAKIT MUNTABER

Rumah tempat tinggal kami adalah rumah dinas, yang letaknya berada di pinggir jalan besar, dan komplek sekolah. Karena tempat kami berada di komplek sekolah, sehingga setiap ada hal berita tidak baik, cepat kami ketahui.
Demikianlah, pada suatu hari isteri penulis, DUS mendengar beri-ta penyakit muntaber sedang mewabah, dan yang dijangktinya anak balita, bahkan sudah ada meninggal dunia. Mendengar kabar muntaber itu, kami khawatir anak kami berumur setahun terjangkiti, anak yang ketika baru berumur tiga bulan tidak BAB. Rupanya DUS bukan saja mendengar mun-taber sedang mewabah, tetapi teman guru di sekolah itu, anaknya sedang diopname di rumah sakit karena muntaber. Kami, mau tidak mau harus membezuk anak itu. Oleh karena itu, sesudak pulang sekolah, DUS me-nyiapkan makanan malam. Ketika jam menunjuk pukul 4.00 sore, sebelum berangkat, kami menasehatkan kakak anak itu, jangan keluar rumah karena sudah sore.
Ketika pukul 7.00 malam kami sudah kembali di rumah, lalu karena khawatir, kami langsung ke kamar mandi dan membuka semua pa-kaian dan merendamnya dengan Rinso.
Keesokan harinya, pagi sekali anak kami yang kami khawatirkan itu, mencret. Karena masih pagi, tentu dokter belum pergi ke kantor, cepat-cepat kami bawa anak itu kepada dokter. Anak kami diberi oralit, lalu kami kembali ke rumah. Belum sempat sampai di rumah, anak itu mencret lagi. Cepat-cepat kami meminumkan oralit yang diberikan dokter. Baru beberapa menit saja meminum obat oralit, anak itu mencret lagi, tetapi karena oralit yang diberika dokter masih cukup banyak, atau sampai untuk sore, sehingga anak itu tidak lagi kami bawa ke dokter.
Ketika hari sudah gelap anak itu, mencretnya tidak mengalami perubahan; tetap/belum setengah jam minum oralit, ia sudah mencret lagi. Itulah sebabnya si anak, malam itu juga kami bawa kembali ke dokter, dan di sana yang diberikan obat itu-itu juga; oralit. Tidak ada obat lain yang diberikan, akibatnya, seusai minum obat anak itu mencret lagi, mencret-mencret terus, membuat kami tidak tidur-tidur malam itu, dan setelah pagi kami bawa lagi ke dokter. Dokter menarik kulit anak itu, nyata-nyata ke-lihatan kulit perut anak sudah tipis. Dokter geleng-geleng kepala pertanda sakit anak kami cukup parah. Dokter bertanya,”Masih ada oralitnya?” Kami jawab, banyak. “Teruskan diminumkan. Tidak ada apa-apa.” kata dokter. Kami sangat kecewa karena dokter tidak memberikan obat lain a- tau diopname. Katanya,”Kalau diopname, tidak bisa bapak bisa lihat setiap waktu, dan saya akan pantau.” Dengan kekecewaan kami tinggalkan ru-mah dokter. Masih dalam perjalanan anak itu mencret lagi.
Hari itu juga, sepulang dari dokter, DUS mengusulkan agar penu-lis menghubungi tetangga, yang anaknya juga muntaber. Begitu penulis tiba di pintu rumah orang itu, penulis melihat anak-anak bermain di ha-laman. Karena penulis sudah kalut pikiran, penulis tidak melihat anak ibu itu bermain di halaman. Penulis bertanya kepada ibu anak itu, bagaimana sakit anak ibu? “Itu, ada bermain di luar, saya beri teh kental saja,” jawab ibu itu. Mendengar teh kental, penulis teringat akan (alm) ayah penulis, dan penulis lupa mengucapkan terima kasih kepada ibu itu. Ayah (alm) pernah mengatakan, “Jika kamu mencret, panjat pohon jambu (giawas) lalu kamu ulam daun mudanya dan jangan kamu pegang.” Kebetulan pohon jambu ada di depan rumah, dan penulis petik.
Setibanya di rumah, penulis mengambil air panas termos lalu men-yeduh daun jambu muda itu di gelas. Dikipas-kipas supaya cepat dingin, sementara dikipas-kipas, anak itu menggapai gelas yang berisi air jambu muda. Karena panas air daun jambu muda tidak seberapa lagi; panas air jambu tidak berbahaya lagi, ibu anak membiarkan anaknya mengambil gelas yang tidak seberapa panas itu. Anak meminum air daun jambu dan dalam sekejap saja sudah habis. Kami lihat anak itu banyak mengeluarkan keringat dan ia mulai mengantuk. Karena anak sudah mengantuk, lalu ibunya menidurkannya. Sementara anak itu tidur, penulis merebus daun jambu, dengan mengabaikan nasehat ayah (alm). Kira-kira satu jam ke-mudian anak itu bangun dan mencret lagi. Kami berikan lagi air jambu yang pahit itu, tetapi diminumnya juga. Setelah diminumnya lalu ia tidur kembali. Ketika anak itu pulas tidur, saya katakan kepada DUS, anak ini masih mau dengan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar