Sabtu, 05 Februari 2011

TIDAK MAU MENIKMATI ANUGERAH TUHAN




Beberapa tahun kemudian, walaupun tidak setuju dengan ulah o-rang Barat itu, karena anak ajak jalan-jalan ke Bali, penulis sedia ikut. Se-mula penulis tolak ajakan itu karena kondisi penulis, yang lima menit ber-jalan, penulis hosa, itupun kalau ada orang menuntun. Tetapi si anak tetap
ngotot, mengajak dan katanya, “Kami Raker di Denpasar sampai hari Ka-mis, nanti hari Sabtu kita jalan-jalan. Kalau Bapak tidak kuat, kami pikul,” kata anak itu.
Hari Sabtu pagi, pukul 4.00 dini hari kami sudah tiba di Bandara Sukarno-Hatta, dan setelah turun dari taksi, penulis disuruh naik kereta dorong, sampai ke tempat lapor. Didorong-dorong itu penulis agak segan dan bingung karena belum pernah naik kereta dorong, bagaimana nanti naik di tangga pesawat, jangankan di tangga pesawat, berjalan yang jauh-nya kira-kira 300 m menuju pesawat, sudah menjadi pemikiran penulis. Rupanya kereta dorong akan masuk bagasi, dan kereta dorong itu di-manfaatkan pihak pesawat Merpati untuk mendorong penulis menuju pe-sawat. Naik kereta dorong hanya sampai di pinggir lapangan, lalu naik mobil. Penulis melihat, penulis sebagai penumpang terakhir, dan sesudah turun dari mobil, langsung di tangga pesawat. Dengan tertatih-tatih dan didorong orang dari belakang, penulis akhirnya tiba juga di atas pesawat. Pukul 6.00 kami sudah terbang menuju Denpasar, dan pukul 7.00 pagi itu juga pesawat yang kami tumpangi sudah mendarat di lapangan terbang Ngurah Rai, Denpasar. Di lapangan terbang Denpasar terlihat banyak kereta dorong berjejer-jejer yang sudah disiapkan. Rupanya para turis yang sudah tua akan dibantu, diservis sebaik mungkin. Tetapi bagi penulis kereta itu membuat terganggu, karena penulis harus diangkut dengan ke-reta mereka. Kereta dorong penulis masuk bagasi, dengan demikian pe-nulis harus naik kereta dorong mereka dan pendorongnya orang mereka sendiri. Akibatnya penulis terlambat keluar, setelah setengah jam kemu-dian barulah penulis bisa keluar. Selanjutnya kereta mereka ditinggalkan, lalu penulis naik ke kereta dorong yang kami bawa.
Pukul 9.00 kami tiba di hotel, istirahat sejenak lalu pergi dengan mobil rental menuju Hutan Kera. Di Hutan Kera itu banyak turis asing sangat memperhatikan gerak-gerik kera-kera itu, dan orang asing itu sa-ngat senang.
Kami di Hutan Kera itu hanya 1 jam lalu pergi lagi menuju Danau Batur dan Gunung Batur. Kami tiba pukul 2.00, lalu menatap Danau dan Gunung Batur dari tempat istirahat, yang keindahannya tak kalah dengan Bukit Gundaling atau menatap Danau Toba dari atas; dari kita hendak menuruni jalan menuju Parapat.
Keesokan harinya, lagi menggunakan mobil rental kami menuju Danau Bedugul. Perjalanan ke Bedugul lamanya kira-kira 4 jam dari Den-pasar. Di Bedugul ada pura di seberang danau, yang gambarnya dapat dilihat pada lembaran uang 50.000 rupiah.
Singkat ceritera, sekembalinya dari Bedugul kami langsung menu-ju pantai Jimbaran. Di Jimbaran restoran berada di depan, sedangkan di belakangnya (tepi pantai) telah disediakan meja-meja makan yang jumlah-nya ratusan. Waktu itu jam sudah menunjukkan angka 4 sore, yang seben-tar lagi matahari akan memasuki kaki langit, dan matahari kelihatan merah seperti bulan. Penulis lihat para turis sudah siap dengan kameranya. Persis ketika matahari hendak tenggelam para turis serentak hura, dan tepuk ta-ngan yang sangat meriah. Rupanya mereka jarang melihat matahari seperti itu, bahkan di negerinya ada seharian meraka tidak dapat melihat matahari. Oleh karena itu, penulis merasa bersalah kepada turis, karena penulis me-nuduh orang Barat menganggap bangsa Indonesia hewan, hal ini berkaitan dengan “sumur” di Kuta.
Orang Barat dapat menikmati sinar matahari pemberian dari Tu-han, sedangkan kita banyak tidak mau menikmati pemberian Tuhan, con-tohnya, ibu-ibu, terutama ibu-ibu di kota besar, apabila matahari baru pukul 9.00 ibu-ibu menindis tombol payungnya, lalu “traak”payung ter-buka, siap dipakai sehingga ibu itu tidak kena sinar matahari. Untuk menu-
tupi kekurangannya, katanya, “Panas.” Pada hal ia takut bedaknya yang tebal rusak kena keringat. Yang paling lucu bagi penulis, mendengar ka-limat, “Kita harus merawat muka dan badan, agar suami tidak mencari perempuan lain.” Sebenarnya, kalau suami memang cinta, walaupun isteri wajahnya sudah rusak, mungkin karena kecelakaan mobil, suami akan cinta terus.
Orang Bali itu, penulis lihat perempuan-perempuannya tidak takut kena sinar matahari, bahkan mereka menadah sinar matahari. Lagi pula gadis-gadisnya sederhana mekapnya.
Soal kecantikan, walau cantik karena dipoles dan tidak kena sinar matahari, tetapi perempuan itu “buntang” sangat mempengaruhi hubungan suami-isteri, kalau suami “mata keranjang”.
Yang dimaksud dengan kata buntang (bahasa Karo), contohnya: kasbih (ubi kayu) yang hidup di bawah pohon yang lebih tinggi, ubi ku-rang kena sinar matahari, daun kasbih itu kelihatan cantik, dan ramping, tetapi mudah patah. Begitu pula soal kecantikan perempuan, perempuan cantik dan bersih karena tidak kena sinar matahari, akibatnya sedikit kena
hujan, ia langsung flu dan tidak mampu lagi bekerja, bagaimana, ya. Apalagi kalau suami meninggal dunia, perempuan itu akan kebingungan. Ia akan hidup kehilangan kendali.
Adapun isteri takut ditinggal suami atau suami takut berselingkuh, lalu isteri rajin bersolek, tetapi isteri bersolek kepada suami di rumah, atau bersolek untuk suami di tempat umum? Kalau bersolek untuk suami di rumah maupun bersolek untuk suami di luar rumah, hendaknya solekan Anda sederhana saja. Hal.ini menurut pemikiran penulis belaka.
Untuk suami tidak berselingkuh, solusi yang terbaik, adalah, usa-hakanlah ada pemasukan uang belanja. Dengan adanya pemasukan uang belanja, suami tidak akan nokoh [(menganggap remeh terhadap isteri), per-bendaharaan kata dari bahasa Karo]. Kalau tidak ada uang pemasukan, atau isteri hanya menganga menunggu pemberian suami, suami akan no-koh; karena suami akan berpikir, “Kalau cerai dari saya, engkau dapat ma-kan dari mana.” Akibatnya sang isteri akan “nerimo wai” saja atas perbu-atan suami, suami dapat isteri kedua, ketiga, dan isteri keempat. Memang tidak semua suami berpikir seperti itu, masih banyak suami lain yang baik dan menyayangi isteri dan anaknya.
Hal suami dan isteri yang ditulis di buku ini hanya merupakan pe-mikiran penulis belaka.

TANGGAPAN KELUARGA ATAS USAHA PENULIS

Selanjutnya tanggapan keluarga tentang usaha penulis; Usaha pe-nulis ditanggapi dingin oleh keluarga, yang akibatnya terjadi pertengkaran dalam keluarga.
Telah diungkapkan bahwa DUS lahir di gubug yang dingin (baca Penyakit Saluran Pernafasan, no.7) akibat lahir di tempat dingin, DUS ren-tan penyakit. Begitu pula penulis, lahir pada masa kedatangan Jepang. Waktu itu pemerintah Belanda menganjurkan, lebih baik menyingkir ke hutan dan malam hari tidak memasang lampu, bahkan memasak makanan sebaiknya sebelum gelap. Kalau ada sedikit saja sinar, tentara Jepang bisa terjun, begitu ceritera ayah (alm).
Sebenarnya pada Suku Karo pada zaman dahulu, bila ada anak lahir harus dibuatkan dapur sederhana di samping ibu yang melahirkan, yang lamanya rata-rata dua bulan. Kalau ditanya, mengapa begitu, mereka akan menjawab, tidak tahu. Pemanasan itulah tidak ada kepada penulis maupun kepada DUS, yang membuat rentan terhadap penyakit.
Ketika penulis berumur kira-kira 45 tahun, pagi sekali penulis me-masuki kandang ayam. Kandang ayam itu terbuat dari kayu sampingan bekas gergajian, yang pintunya dibuat sempit, hanya yang bisa dilewati manusia dengan melurus badan, agar pecuri susah masuk. Begitulah cara masuk ke kandang ayam. Ketika penulis memasuki kandang itu, penulis merasa sakit di bagian telapak kaki. Pikir penulis, kaki penulis keseleo, ah, pulang kantor nanti maitu (panggilan kepada isteri di Papua) urut. Sepu-lang dari kantor maitua mengurut kaki penulis dengan minyak urut. Ter-nyata setelah diurut di kaki itu bukan tambah baik, tetapi tambah sakit, bahkan sakitnya bukan kepalang. Penulis pikir, esok harus ke rumah sakit. Makin lama sakit itu makin menjadi sehingga penulis dengan kaki terseok-seok diantar oleh isteri sampai di jalan, kemudian naik angkot. “Mengapa,, Pak,” kata Lakehu, anggota penulis yang kebetulan ada di angkot itu. Pe-nulis tidak menjawab karena kesakitan, sakit penulis makin menjadi mung-kin karena dipaksa berjalan. Setiba di rumah sakit, penulis menyuruh ang-gota itu pergi ke kantor, malu apabila diantar sampai ke ruang periksa. Ke-tika nama penulis dipanggil, dengan memegangi dinding, penulis men-datangi dokter. Dokter Sarumpaet terkejut, mungkin karena muka penulis tidak seperti orang sakit. “Kena apa, kena apa,” tanya dokter itu. Tidak tahu, kata penulis. Lalu penulis ceriterakan hal mulainya sakit. Belum habis berceritera, penulis melihat, dokter menulis reumatik di kertas re-sep. Saya ini sakit reumatik, tanya penulis. “Ya,” kata dokter seraya menu-lis surat sakit selama 3 hari. Tolong dok, bikin surat sakit itu sepuluh hari, sakit sekali ini. “Coba saja dulu,” kata dokter. Dari ruangan dokter, penulis dengan tertatih-tatih pergi ke kantin. Dengan maksud, pulang ke rumah menumpang bus pegawai rumah sakit. Di kantin dengan bantuan kenalan, penulis minta tolong untuk mengambil obat di ruang obat, yang karena teman itu memang bekerja di rumah sakit, ia hanya sepuluh menit, ia sudah datang kembali. Obat yang ditulis di kertas resep, vehatson forte penulis telan. Hanya kira-kira 20 menit, di yang sakit sudah terasa mem-baik. Jadinya penulis tidak naik bus rumah sakit karena sudah kuat.
Setelah sebulan dari berobat itu, sakit lagi di kaki sebelah kiri, yang mulanya penulis menginjak batu kerikil. Penulis tidak lagi ke rumah sakit berobat karena terlama menunggu, penulis berobat ke dokter praktek. Dokter praktek memberikan obat Irgapan. Dengan resep itu, penulis meja-di tahu bahwa apabila sakit lagi Irgapan obatnya. Kawan penulis, setelah ia melihat dan mengetahui sakit pada bagian kaki, katanya, penulis bukan sakit reumatik, tetapi asam urat. Katanya lagi, kalau reumatik tidak sakit bagian bawah, tetapi pada persendian atas. Dalam hati penulis, reumatik atau asam urat, tidak masalah yang penting penulis tidak sakit lagi.
Rupanya sakit asam urat pantangan banyak. Oleh sebab itu, kawan (kawan dimaksudkan penulis, ada pegawai kantor, guru dan ada pula pera-wat) itu mengatakan, kalau pantangannya dimakan terus, akan kambuh la-gi sakitnya. Tetapi sudah terlambat, sudah timbul benjol-benjol di kaki se-hingga tidak bisa lagi memakai sepatu. Bukan saja tidak bisa bersapatu, te-tapi sakit lagi pada bagian jempol tangan kanan, dan kata kawan, “Sakit di jempol itulah reumatik. Dan menelan obat Irgapan bukanlah solusi, Irga-pan hanya mengurangi sakit, diharapkan ada penyembuhan dari dalam, ya-
itu dengan panas matahari, atau dengan berdiang dekat kompor, panas itu sangat membantu. Kalau musim penghujan atau udara dingin, dingin itu membuat reumatik kambuh. Oleh sebab itu, kalau musim hujan datang, dianjurkan berdiang di dapur. Lihat orang Barat, orang Barat memasang api di rumah, yang dapat dilihat melalui layar televisi,” kata teman itu.
Berkaitan dengan panas itu, ketika penulis menjemput orang di Bandara Sentani, penulis sempatkan mengunjungi S. Perangin-angin di kantornya; Kantor Karantina Hewan. Karena tidak ada hewan masuk, kami berbincang-bincang. Menurut S. Perangin-angin, mertuanya (orang Jawa) yang tinggal di Jawa umurnya diperkirakan sudah seratus tahun. Penulis tanyakan, solusinya bagaimana. “Diambilnya jahe merah dan kunyit lalu ditumbuknya, kemudian ditaruh minyak makan, lalu dipanaskan. Pada saat panas itu, Bapak itu menempelkannya ke badannya. Bapak itu tidak meng-alami sakit seperti abang katakan, tetapi pisiknya memang berkurang, ”ka-ta Perangin-angin itu.
Mendengar kata-kata Perangin-angin itu, setiba di rumah penulis mencari jahe merah di pasar. Rupanya jahe merah di Jayapura mahal har-ganya sebab didatangkan dari luar Papua. Jahe merah itu dibuat penulis se-perti dibuat mertua Perangin-angin. Memang jahe itu menolong.
Rupanya DUS sudah sakit juga, Irgapan selalu ditelannya. Lama-kelamaan Irgapan tidak mempan. Pada suatu pagi DUS merasakan sakit, tetapi kesakitannya dibawakannya saja ke sekolah. Sakitnya makin menja-di sehingga ia minta permisi pulang kepada Kep. Sekolah. Ia langsung me-nelepon penulis untuk segera pulang. Ketika penulis tiba di rumah, penu-lis mendengar DUS merintih kesakitan di kamar. Penulis tanyakan, ja-wabnya, mungkin reumatik. “Sudah banyak saya makan Irgapan, tetapi ti-dak mempan lagi,” kata DUS. Tiba-tiba ada orang mengetuk pintu, penulis bukakan pinta, rupanya yang datang B. Sembiring. “Mana bibi,” tanyanya. Singkat ceritera, kedatangan Sembiring adalah hendak minta tolong kepa-da Elsa yang bekerja di Kantor UNDP Jakarta. Kata Sembiring, adiknya yang bekerja di Arab Saudi, sudah lama tidak ada kabarnya. Rupanya a-diknya sakit kanker otak sehingga ia tidak tahu lagi keadaan dirinya.
Sembiring mengatakan, ia pernah juga sakit seperti DUS sepulang mengantar turis ke Puncak Jaya, ia kena reumatik. Kalau dokter yang mengobati, atau dengan obat saja, hanya bertahan beberapa waktu saja ti-dak sakit, tidak lama kemudian akan kambuh lagi. Itulah sebabnya, “Lebih baik membeli jahe merah dan kunyit, ditumbuk lalu dicampur dengan mi-nyak makan, kemudian dibungkus dengan kain-kain, dipanaskan di atas kompor yang di alas daun pisang. Jahe itu ditempel-tempelkan dengan panas setahan bibi,” kata Sembiring. Penulis langsung mencari jahe merah (tanpa kunyit) yang kebetulan ada di dapur dan mengolahnya seperti Sem-biring katakan. Penulis tinggalkan DUS, dan ia bercakap-cakap dengan Sembiring, yang kemudian Sembiring pergi, penulis tidak tahu. Kesokan harinya DUS mengajar kembali tanpa ada gangguan kesehatan, itulah kerja jahe merah.
Pada akhir tahun 2008 penulis dengan DUS (isteri) sudah berada di Bekasi. Selama dua tahun di Bekasi kami aman-aman saja, tidak ada penyakit serius, kecuali sakit maag. Tetapi di akhir tahun 2010 reumatik mulai menggeroti DUS. Ia mulai merasa tidak enak badan, itu sebabnya penulis menasehatkan, kalau keluar pagi-pagi harus pakai baju panas, agar tidak kedinginan. Tetapi DUS ngeyel (mengà ng-eyel : tidak mau meng-ikut, 2008, à tidak mau mengalah; tidak mau mengikuti nasehat), alas-annya, “Dari dahulu saya biasa keluar pagi, hanya pakaian biasa, tidak ke-dinginan, koq,” katanya. Rupanya ia sudah lupa sewaktu di Jayapura.
Badan tak enak tambah lama tambah menjadi sehingga ia menge-luh. Anaknya mengajak mamaknya untuk pergi ke dokter praktek. Tetapi DUS mungkin mengharapkan ke dokter itu, ada pernyataan dari penulis. Memang sebelumnya, penulis sudah menjelaskan bahwa ke dokter itu, bu-kan solusi, sebab obat dari dokter hanya beberapa waktu lalu kambuh lagi. Tiba-tiba anak dengan nada keras, “Bapak sekolah dokter di mana, mana ijazah Doktornya.” DUS (isteri) ikut marah, katanya Bapakmu bukan Doktor saja, tetapi Propesor. Mendengar kemarahan mereka, penulis juga mulai marah, sudah, sudah, kamu ke dokter, dokter nanti selain membe-rikan obat, ia akan memberikan matahari dan pemanas lainnya. DUS mengeluarkan senjata pemungkasnya, menangis dan masuk ke kamar. Penulis mengikuti DUS ke kamar seraya membujuk, tidakkah ingat kepada B. Sembiring yang datang dahulu ke rumah kita? Kan, ada nasehatnya? DUS diam, lalu penulis mengusap-usap tangannya, sampai ke punggung, hingga ia tertidur. Satu jam kemudian ia bangun, dan ia tidak merasa sakit lagi. Rupanya panas manusia dapat “di-transfer”dari manusia satu ke ma-nusia lain.
Beberapa minggu kemudian, penulis melihat DUS mengeluarkan panci yang isinya tinggal sedikit, dan panasnya tidak seberapa, “Tolong, taruh panci di pinggangku.” Tindakannya menyuruh penulis, menaruh pan-ci di pinggangnya, karena penulis sudah lumpuh sebelah, tidak mampu mengatur panci itu.

MANFAAT SINAR MATAHARI

Pada tahun 1966 penulis sudah memasuki masa purna bhakti (pen-siun) dan penulis bersama isteri (DUS) membuat program mengunjungi famili di kampung. Kami dengan menumpang KM. Dobonsolo dari Jaya-pura dan singgah di Denpasar/Bali. Ketika ABK. mempersiapkan kapal untuk sandar, ada pengumuman, “Bagi penumpang yang ingin jalan-jalan di Denpasar, Pelni menyiapkan transportasi bus berkeliling Denpasar, yang dimulai dari pantai Kuta. Di Kuta Anda akan melihat sumur ………dst.” Kami membeli tiket @ Rp 7.500, lalu turun dari kapal dan kami naik bus. Kira-kira dua puluh menit kemudian kami sudah tiba di Kuta. Rupanya yang dimaksud dengan “sumur” adalah susu di jemur, di sana terlihat susu (payudara) orang Barat di jemur, tetapi dilarang dipotret. Waktu itu mata-hari sudah pukul 10.00. Badan mereka terlihat merah kena sinar matahari. Di Kuta kami hanya 30 menit, lalu terus berkeliling dan selanjutnya me-nuju Benoa, pelabuhan Denpasar. Masih dalam bus itu, sekembali dari Kuta itu, mungkin teman-teman sepanjang perjalanan masih menikmati alam Denpasar, tetapi penulis berpikir-pikir, koq orang Barat itu mau ber-buat seperti itu, atau kami di Indonesia dianggap hewan?
Pukul 4.00 sore kami sudah tiba kembali di kapal dan segera ber-tolak menuju Jakarta., selanjutnya ke kampung halaman.

Sekembali dari kampung, pada suatu hari, menjelang gelap penulis pergi dari rumah menuju rumah BS untuk kebaktian Rumah Tangga, di komplek BTN, Kotaraja. Di rumah itu, isteri BN sedang menggendong anaknya, yang umurnya hampir 1 1/2 tahun. Koq, sudah besar masih digendong? kata penulis berbasa-basi. “Tidak tahu, opa. Anak ini mau makan dan kebutuhan gizinya terpenuhi, tetapi belum bisa berjalan,” si isteri menjelaskan. Percakapan kami hanya sekian, percakan terbatas karena kebaktian akan dimulai. Setelah selesai kebaktian, kami bubar.
Kira-kira dua bulan kemudian, lagi kebaktian Rumah Tangga dise-lenggarakan di rumah BS itu. Penulis ingin menyampaikan tentang kea-daan anak di London, Inggris. Oleh karena itu penulis datang lebih awal ke rumah BS. Setibanya di rumah keluarga itu, penulis katakan, Ibu, sewaktu saya Sekolah Guru, guru saya mengatakan, di London banyak anak berka-ki O atau X. Setelah mereka selidiki, rupanya karena mereka hidup di rumah susun dan tinggi, sehingga mereka kurang mendapat sinar matahari. Akibatnya anak-anak mereka, ya, itu berkaki O ata X. Coba anak ini di jemur mulai pukul 9.00 sampai pukul 10.00 pagi. Di sini sedang memba-ngun, banyak pasir untuk bermain. Rupanya ibu itu menerima saran penu-lis, dan seminggu kemudian anak itu sudah dapat lari-lari, tetapi lari-lari saja, belum mampu mengerem, larinya, lalu jatuh, berdiri, lari lagi lula jatuh, begitu terus-menerus, kata ibu. Biarpun lari lalu jatuh, ibu itu sangat. senang, dengan bukti: Setiap hari Minggu ibu menyapa penulis, “Opa, Anu sudah bisa berjalan,” sapanya (namanya penulis lupa, katakanlah Anu) Kalau ibu-ibu yang disapa, pasti ibu itu mengusap pipi Anu, tetapi penulis tidak tanggap, penulis hanya menyahut dengan “ng …”suara hidung. Saya tahu ibu ibu ingin anaknya disapa penulis, tetapi penulis tidak mampu bernuat seperti ibu-ibu, mengusap pipi anak.

Sewaktu menulis naskah ini, penulis teringat akan perempuan Ba-rat, perempuan yang sedang berjemur di pasir pantai, yang penulis dalam hati menuduh orang Barat itu, menganggap orang Indonesia sama dengan hewan. Rupanya bukan demikian, dan untuk mengetahui, mengapa orang Barat berbuat demikian, bacalah naskah berikut (halaman , no. 10)

Kemudian, bagi orang yang sudah berumur 70 tahun atau lebih, setelah membaca uraian yang dikemukakan ini, diharapkan menjadi awas bila kena hujan, hujan yang asalnya mula-mula dari titik air karena di-nginnya di angkasa, kemudian turun ke tanah atau ke laut. Pembaca dapat membayangkan, betapa dinginnya hujan itu ketika menimpa kita, walau-pun hujan mengalami perubahan panas di permukaan tanah. Pemikiran ini timbul karena, sewaktu muda penulis mengupas tebu dan menghisap airnya hanya menggunakan gigi, tetapi aman-aman saja. Setelah berumur 70 tahun, menggigit tebu rasanya lidah tersayat-sayat. Jadi, sesudah manu-sia tua daya tahannya sangat berkurang. Oleh karena itu, bila lama kehu-janan, sebaiknya Anda berlama-lama bermandi air hangat, atau merendam di bak dengan air hangat hingga panas badan normal kembali seperti se-mula (36-37 0 Celsius). Bagi orang yang sehari-harian bergelut di bawah sinar matahari tentu berbeda daya tahannya dengan orang seperti dice-riterakan di atas; orang yang rentan penyakit reumatik.

PENYAKIT SALURAN PERNAFASAN

Sakit saluran pernafasan, yang dimaksudkan kepada DUS, atau isteri penulis, yang kalau dokter untuk menentunkan seseorang menderita sakit saluran pernafasan melalui alat, sedangkan penulis melalui pemban-dingan dan fakta. Dari itu, penulis mengemukakan ada 3 hal, yaitu:

- Rumah Suku Lani (Dani) di Papua, sehat,
- Asal-usul sakit saluran pernafasan DUS,
- Penyakit bronkitis DUS disembuhkan.

7.1 Rumah Suku Lani (Dani) di Papua, sehat

Rumah yang dalam bahasa Lani disebut ome, bentuknya bulat yang bergaris tengah bervariasi, tergantung jumlah orang yang akan tidur di dalamnya. Jika yang akan tidur hanya isteri dan anak dua orang, garis tengah rumah cukup 3 meter, dan tinggi dinding rata-rata 2 meter yang terbuat dari kayu belah. Atap ome terdiri dari daun alang-alang, dan tebal atap kira-kira 10 cm. Atap dengan dinding dibuat rapat supaya tidak banyak udara masuk. Setelah beberapa lama atap rumah berwarna coklat karena bekas asap. Melihat besar rumah dan bekas asap itulah orang beranggapan, bahwa tinggal di rumah (omeh/honay) itu tidak sehat karena polusi udara. Tetapi jika ditelusuri pelaksanaan pemakaian ome oleh suku Lani, tiaklah demikian.
Apabila senja, terlebih dahulu orang memasang api. Jadi, sebelum masuk ke ome, lebih dahulu mengadakan pemanasan dalam rumah. Se-mentara pemanasan ruang berlangsung, orang akan makan di dapur yang letaknya agak jauh dari rumah. Setelah kira-kira mau gelap baru mereka masuk ome. Masuk ome setelah di ruangan tidak ada lagi asap, kecuali bau asap, tetapi api di dapur pemanasan yang kayu apinya dari kayu keras, tetap membara didalam abu membuat ruangan tetap hangat. Demikian pula dengan ome yang sedikit besar, pemanasan ruangan juga ada. Di ome yang sedikit besar itu, dibuatkan lantai atas. Seperti biasa, orang akan masuk ome apabila di lantai bawah asap sudah tidak ada lagi, begitu pula ruangan atas, setelah asap tidak ada baru mereka naik ke lantai atas. Umumnya kira-kira pukul 10.00 atau 11.00, malam barulah orang naik ke ruangan atas. Bagitulah cara suku Lani tidur di pedalaman Papua.
Setelah hari agak terang, ibu atau gadis akan membakar ubi atau makanan apa saja. Sedangkan bayi ataupun anak balita tetap tinggal di o-me hingga cuaca agak panas. Bayi, jika bepergian di masukkan ke dalam noken yang berselimutkan daun-daun kering. Noken untuk membawa bayi tidak lagi disebut noken, tetapi yum.
Selama lima tahun (dari 20 Juni 1966 hingga 1 Agustus 1971) di pegunungan nan dingin itu, penulis tinggal di sana, dan selama lima tahun itu penulis tidak ada mendengar bayi atau anak balita batuk panjang. Bayi dan anak-anak semuanya sehat, montok-montok/gemuk. Itulah sebabnya penulis berani mengatakan, tinggal di ome (rumah), sehat. Kecuali per-mukaan kulit, pada pagi hari, kulit kelihatan beralur-alur karena bekas keringat.
Bila penulis berjalan bersama dengan anak-anak pedalaman, di jalan tanjakan atau menurun, mereka sangat kuat. Memang penulis mula-mula mampu mengikuti langkah anak-anak, tetapi lama-kelamaan penulis kewalahan; tertinggal jauh di belakang.

7.2 Asal-usul sakit saluran pernafasan DUS

Kami tiba di pedalaman Papua pada Juni 1969, waktu itu kelihat-annya DUS tidak ada menderita penyakit batuk-batuk. Sesudah lima tahun baru kelihatan ia batuk. Makin lama batuk DUS makin menjadi, sehingga kami harus ke poliklinik untuk berobat. Oleh dokter di Poliklinik, ia diberi obat, tetapi tidak diberi tahu, apa penyakitnya.. Makin lama frekwensi ba-tuk DUS bertambah meningkat, oleh karena itu, selain berobat penulis menanyakannya, bagaimana asal-usul batuknya. Katanya, sewaktu latihan angkat besi di SPG Kabanjahe, tiba-tiba ia batuk. Penulis kurang percaya atas atas keterangan DUS.
Ketika kami cuti ke kampung halaman, penulis coba tanyakan ke-pada nenek kami (orangtua mertua) hal kelahiran DUS, dengan cara me-ngorek-ngorek, bagaimana riwayat kelahiran DUS. Menurut nenek itu, waktu itu tentara Belanda datang, lalu terjadi pertempuran, asap mengepul ke udara. Saat itulah nenek mendapat berita dari menantunya tentang cucu- nya sudah lahir. Nenek tinggal di kampung Buluhnipes, yang bersebe-rangan jalan dengan tempat DUS lahir, yang jauhnya kira-kira 4 km. Men-dengar cucu sudah lahir, nenek itu bergegas pergi menyeberangi jalan me- nuju gubuk tempat lahir DUS. Di situ nenek melihat seorang dukun ber-anak (yang tak lain adalah ibu ayah DUS) dan ibu DUS, dan tiga orang anak; kakak dan abang DUS. Rupanya waktu itu, karena takut kepada tentara Belanda yang selalu main gebug, orang-orang berpindah-pindah tempat, dan tempatnya gubuk darurat.
Setelah penulis kait-kaitkan ceritera nenek itu, rupanya tentara Be-landa sebenarnya belum datang, tetapi waktu itu los pekan Biru-Biru dise-rang oleh tiga mustang Belanda. Rupanya suara gemuruh pesawat terbang dan tembakan, nenek itu terkena ilusi suara, sehingga katanya, tentara Belanda datang.
Adapun gubuk darurat itu, malam hari tidak diizinkan membuat api besar, karena dengan adanya api akan mengeluarkan cahaya membuat mata-mata Belanda datang. Dari ceritera takut membuat api, tentu udara di dalam gubuk dingin, apalagi dini hari tentu udara sangat dingin. Walaupun nenek itu tidak menceriterakan hal keadaan bayi DUS kedinginan, tetapi pembaca dapat membayangkan keadaan bayi DUS. Bayi itu akan mena-ngis-menangis terus membuat saluran pernafasan terganggu/meradang. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga orang saudaranya; kakak dan abang DUS, maupun dua orang adiknya yang akan lahir kemudian, tidak ada yang sakit saluran pernafasan. Kalau dibandingkan keadaan DUS sewaktu bayi dengan bayi pedalaman Papua yang hidup dalam ome yang berabu, maka sakit saluran pernafasan penyebabnya adalah akibat selalu menangis karena dingin ataupun hal lain. Selalu menangis itu, membuat saluran pernafasan terganggu, atau timbul radang, lalu meninggalkan bekas, yang walaupun sudah sembuh, tetapi kesembuhannya hanya mereda, yang apa-bila sewaktu-waktu kena dingin pada bekas itu akan menimbulkan alergi, yang menyebabkan batuk. Seseorang yang sudah pernah terganggu perna-fasannya, yang dianggap sudah sembuh, tetapi kian berumur dia kian ber-kurang pula daya tahannya terhadap batuk.

7.3 Penyakit bronkitis DUS disembuhkan

Telah diungkapkan bahwa orang yang pernah saluran pernafasan- nya terganggu, dapat menimbulkan batuk berkelanjutan. Yang begitulah dialami DUS, apalagi ia saat-saat berumur, ke dokter-dokter menjadi “ma-kanannya.”
Mendung sudah dua hari, mendung yang menyebabkan DUS ba-tuk-batuk, tetapi dia belum mau ke dokter. Ketika batuknya makin men-jadi, ia sadar bahwa batuknya nanti menjadikan ia absen mengajar. Oleh sebab itu, pagi sekali ia pergi ke Puskemas untuk berobat. Ketika dokter melihat DUS datang yang sedang batuk-batuk, dokter yang belum mema-kai baju seragamnya, buru-buru masuk ke ruang kerjanya. “Silakan masuk, buk, apa keluhan ibu?” tanya dokter. Sebenarnya pertanyaan dokter hanya basa-basi, ia sudah tahu keluhan DUS karena ia sering berobat ke Pus-kesmas. DUS menceriterakan bahwa dua hari akhir-akhir ini, ia terganggu tidurnya, apalagi pagi ini, batuk-batuk terus. Kata dokter, “Batuk ibu ini disebut bronkitis, apabila cuaca buruk; seperti cuaca sekarang ini, batuk ibu akan kumat. Obat batuk bronkitis tidak ada, hanya meredakan batuk yang dapat kita buat, yaitu kalau ibu lihat cuaca buruk, ibu pakai baju panas lalu mengurung diri di rumah sampai cuaca panas.” DUS diam de-ngan maksud akan mendapat obat. Dokter juga diam, dengan maksud DUS juga mengetahui dan sadar akan keberadaannya. Setelah beberapa lama dokter berkata, “Sudah ibu, pulang saja.” DUS tidak ada mengucapkan terima kasih dan mukanya muram, lalu ia pulang. Baru sampai di halaman rumah, ia marah-marah seraya mengucapkan, “Terlalu itu Siahaan (mak-sudnya dokter itu), kita mau berobat, malahan ia berkhotbah panjang lebar.” DUS melapor kepada penulis sambil menangis. Sudah, sudah ja-ngan berbicara seperti itu, malu kita, kata penulis membujuk. Kami masuk ke dalam rumah dan berdoa. Lalu setelah penulis mendengar laporan DUS itu, penulis mulai beraksi. Penulis mengambil seterika dan menyambung-kannya ke stop kontak. Sementara seterika dicokkan, penulis mengambil kain-kain dan kain sarung. Seterika yang sudah panas itu, digosokan pada kain-kain, lalu DUS mengambilnya dan menempelkannya pada badannya. Kira-kira dua puluh menit kemudian, Dus mengatakan, “Sudah lega sedikit bernapas, saya mau pergi ke sekolah.”
Sorenya, kembali dipanaskan seterika dan menggosok-gosokkan pada kain, lalu ditempelkan ke badan. Berbuat seperti itu, apabila DUS ba-tuk-batuk. Tindakan menyeterika kain prosesnya agak lama. Setelah bebe-rapa lama, DUS menganjurkan agar, kain empat lapis ditaruh di atas pung-gung; bagian kiri tulang belikat, lalu diseterika. “Panas dari seterika rasa-nya sampai ke bagian dalam, enak.” kata DUS. Tindakan mengobati bronkitis DUS dengan panas seterika; menyeritika di punggung DUS fre-kwensi makin lama makin berkurang. Penyakit bronkitis DUS yang sejak 1985, bila kumat, langung diseterika, yang akhirnya jarang kumat. Walau-pun dikatakan kumat, tetapi penulis menganggap sudah sembuh, karena tidak menggangu aktivitas DUS sebagai guru.
Penemuan menyeritika kain untuk menyembuhkan bronkitis bagi penulis sangat berharga, karena anak yang pernah beringus dapat disem-buhkan. Bahkan pada anak yang ditimpa sakit batuk 100 hari, juga dapat disembuhkan, tetapi tidak diingat penulis proses seterika dan penyembuh-annya berapa lama. Hanya saja, bila anak batuk panjang dan kita merasa kasihan melihat anak itu, setelah kain dipanaskan lalu ditempelkan pada badan anak itu berulang-ulang sekujur tubuhnya, badan anak akan menjadi hangat dan batuk mereda.

SAKIT PINGGANG DISEMBUHKAN

Membaca judul naskah ini, mungkin pembaca mengira bahwa pe-nulis seorang medis, dan mungkin juga seorang dokter. Sebenarnya penu-lis awam dalam pengetahuan medis, lihat saja judul naskah ini, ada tertera “sakit pinggang”, sakit pinggang adalah kata yang aneh bagi orang medis. Dan penyakit sakit pinggang DUS penulis juga tidak tahu apa penyebab-nya.
DUS sesudah berumur 40 tahun, penyakitnya bermacam-macam yang muncul, seperti diceriterakan pada halaman sebelum tulisan ini.
Suatu pagi DUS mengeluh karena sakit di pinggang. Untuk meng-obati sakit pinggang DUS, penulis memakai tablet neoralgin, yang pernah dilihat penulis digunakan orang lain, dan kebetulan ada pula di rumah. Lalu penulis menyuruh DUS menelan neuralgin itu. Sesudah menelan obat neoralgin, kira-kira 15 menit kemudian, pagi itu juga DUS merasa sakitnya sudah berkurang, dan ia langsung pergi ke sekolah untuk mengajar. Sam-pai sore ia mampu menahan rasa sakitnya. Keesokannya, paginya kembali ia merasakan sakit di pinggang. Diberikan lagi neoralgin, ternyata berku-rang juga sakitnya. Menggunakan neoralgin lama-kelamaan tidak mempan lagi. Rupanya neoralgin fungsinya hanya mengurangi rasa sakit, bukan untuk mengobati.
Sakit pinggang DUS, biasanya kumat pada pagi hari. Sakit di pagi itu menyebabkan penulis mengajak DUS periksa ke dokter pada sore hari, tetapi ia tidak mau. Ketidakmauan DUS, penulis mengira soal uang. Supa-ya tidak banyak mengeluarkan, penulis mengajak DUS berobat ke Puskes-mas, juga ia tidak mau. Rupanya teman-temanya di sekolah menceritakan tentang sakit pinggang orang lain. “Jangan-jangan ibu sakit ginjal. Kalau sakit ginjal harus dioperasi,” kata seorang guru. Mendengar kata operasi itulah sebabnya DUS tidak mau ke dokter. Ia trauma mengingat operasi tumor dahulu. “Biar sudah, mati saja daripada dioperasi lagi,” katanya. Penulis tentu bingung, tidak tahu lagi apa yang dibuat. Dan sakitnya makin menjadi-jadi, kumatnya yang semula hanya pagi saja, lama-kelamaan dari pagi sampai sore, sakit terus-menerus. Penulis hanya mampu mengucap-kan sabar, sambil mengelus-elus yang sakit, mulai dari pinggang sampai perut, bahkan di punggung juga dielus . Sekali peristiwa, ketika mengelus pada bagian bawah perut, DUS berteriak, “Sakit,” katanya. Penulis terke-jut, hanya dielus koq, DUS berteriak, tetapi dengan teriakan DUS itu, penulis berpikir, apanya yang sakit? Penulis mencoba pelan-pelan meraba pada bagian, yang katanya sakit itu. Sambil meraba-raba pada bagian sakit itu, pelan-pelan penulis mekankan jari, jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Andainya, apabila DUS berteriak karena sakit, sakit kena jari penu-lis, jari penulis akan ditarik, demikian pikir penulis. Dan meraba itu dimulai dari bawah perut hingga pinggang. Kata DUS, rasanya lega di pingnggang kalau diraba. Lama-kelamaan DUS berkurang rasa sakitnya; bahkan ia tenang kena rabaan jari penulis. Ketika penulis meraba bagian bawah perut DUS, dengan tidak sengaja penulis menemukan seperti ben-jolan sebesar pisang ambon, dan panjangnya sama dengan pisang emas. Benjolan itu sepertinya usus, lalu penulis tekan pelan-pelan benjolan itu ke bagian atas, karena penulis mengira benjolan itu, usus. Dan DUS tidak merasakan sakit.. Selanjutnya penulis tidak lagi menamakan raba, meraba yang sakit, tetapi dinamai urut secara perlahan sampai benjolan hilang.
Pada suatu kali, pada pagi hari DUS mengalami sakit pinggang la-gi. Penulis mempersilakan DUS masuk kamar, lalu penulis mengurut ping-gang lalu ke perut. Sembuh lagi, dan ia berangkat lagi ke sekolah untuk mengajar. Sore, ketika ia masak di dapur, DUS kembali merasa sakit. Yah, seperti dibuat semula, langsung diraba perutnya, karena benjolan itu pada perut, tidak pada pinggang. Hanya sebentar diururt, sudah sembuh lagi. Beberapa kali penulis memperhatikan DUS di dapur, apa yang diper-buatnya. Ketika ia mengangkat dandang pemasak air, air untuk diisi ke thermos, dan sebagian untuk air mandi dua orang, pada saat itulah kambuh sakit pinggang DUS. Penulis menyimpulkan, sakit pinggang DUS bermula dengan mengangkat dandang, dandang diangkat sembarangan, semba-rangan dalam arti, mengangkat dengan tidak sungguh-sungguh. Sambil berjalan dandang disambar, lalu dinakkan ke kompor. Seperti mengangkat barbel, mengangkat dengan tidak siap fisik. Sekali langkah salah, atau hsilaf, efeknya kemudian hari, berat.
Karya penulis, tentu penulis merasa bahagia karena penulis berha- sil mengobati sakit pinggang DUS. Penulis katakana kepada DUS, kalau tidak bersama dengan saya, maka penyakit DUS tidak akan ditemukan. DUS tidak menerima kata-kata penulis, “Bukan Bapak yang mengobati saya, tetapi melalui tangan Bapak, Tuhan menyembuhkan penyakit saya,” kata DUS. Ucapan DUS itu ada benarnya, dan kami selalu berdoa apabila ada keluarga ditimpa penyakit, apalagi penyakit yang berat, Tuhanlah yang menuntun tangan penulis.
Memang mengobati itu, mengobati bagaimana, seperti penulis ke- mukakan, tidak dapat menjelaskan proses penyembuhannya, tetapi mem-baca tentang pengertian hernia, hernia à menonjolnya suatu alat tubuh atau jaringan ke permukaan tubuh atau ke rongga lain melalui lubang a-tau saluran abnormal: burut. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Ba-hasa, 2008, Edisi IV, Departeman Pendidikan Nasional) apakah yang di-sebut penulis benjolan sebelah bawah perut, sebagai awal terjadinya bu-rut? Tentang burut, penulis terobsesi dari penderitaan teman akrap penulis, yaitu: Teman yang memang ada burutnya, ia menumpang/naik sedan VW, tiba-tiba sedan itu terperosok ke got (parit), lalu teman akrab itu, yang adalah guru olahraga, mengangkat bemper sedan itu untuk mengeluarkan sedan dari got, keluar memang, tetapi teman itu langsung dibawa ke rumah sakit, karena burutnya mendadak sakit. Setibanya di rumah sakit, teman itu langsung dioperasi dan dirawat selama dua minggu.
Adapun sakit pinggang, untuk menambah perbendaharaan tentang sakit pinggang itu, pada kesempatan ini turut dilampirkan, tentang keluar-ga penulis, perempuan yang sakit pinggang.
Pada suatu hari penulis dengan DUS berkunjung ke Serang, seti-banya di Serang, kami lihat kemanakan sudah siap berangkat. Penulis ber-tanya, hendak ke mana kamu? Jawabnya, “Dirontgen ke Tangerang, mung-kin tulang pinggangku sudah patah, ongkos rontgennya saja satu juta dua ratus, sekali rongten.” Pernahkah kamu jatuh, atau dipukul orang ping-gangmu?, lagi tanya penulisi. “Tidak.” jawab kemanakan itu. Kalau begitu, sepulang kamu dari Tangerang nanti, saya akan urut.
“Bagaimana kam (kam maksudnya adalah ‘kau’, kata kau dipang-gilkan kepada orang lebih tua, apalagi kepada orangtua, dianggap tidak sopan, kalau menyebut kau) bikin?” tanya anak itu. Yah, berangkatlah kau, ajak penulis..
Sebenarnya selaku ayah, mengurut anak perempuannya, pantang benar, tetapi karena anak itu (kemanakan) merasa sakit, ia mau saja nanti diurut penulis.
Kira-kira 1½ jam kemudian anak itu sudah kembali dari rontgen, penulis tahu bahwa ia akan sungkan kalau penulis urut, sungkan karena ya, itu, pantang. Oleh sebab itu, sekembalinya dari rontgen itu, penulis berka-ta, kau sudah siap? Kalau sudah siap, kamu pakai kain sarung. Ia tidur te-lentang di bangku panjang, lalu penulis raba pada bagian yang dianggap ada benjolan. Ternyata pada perut bagian kanannya ada benjolan, tetapi benjolan itu tidak seperti DUS, kalau DUS seperti pisang ambon, se-dangkan kemanakan itu benjolannya sebelah kanan, sebesar buah kemiri, ada tiga buah. Benjolan tiga buah itu, penulis dorong pelan-pelan ke ba-gian atas perut hingga benjolan hilang. Penulis tanya, masih ada sakit? Jawabnya, “Tidak, saya tidak lagi ke Tangerang, karena saya merasa pe-nyakit sudah sembuh.” Ya, tetapi saya harap jangan lagi mengangkat-angkat yang ……., belum habis penulis berbicara, langsung kemanakan itu menangkis, “Saya tidak ada mengangkat apa-apa, ada yang membantu.” Walaupun ia menangkis, tetapi penulis mengamati tentang apa dikerja-kannya. Kira-kira pukul 9.00 pagi kemanakan itu mengeluh karena sakit di pinggang. Penulis melihat kemanakan itu datang dari luar rumah, lalu penulispun keluar rumah, ternyata ia mengangkat pot bunga yang beratnya 5 kg lebih. Singkat ceritera, yang kebetulan suaminya sedang pulang dari bekerja, dan ia menegur isterinya, “Mengapa tidur di depan matengah (ma-ma tengah = om tengah) ini. Lalu penulis jelaskan hal penyakit isterinya.

Hal benjolan itu, kalau DUS benjolannya memang pindah-pindah, kadang di sebelah kanan, sebelah kiri, kadang di tengah perutnya.

MENDERITA KARENA TIDAK TAHU ADA TUMOR

Suatu pagi isteri bertanya kepada penulis, “Apa yang menonjol ini,” kata DUS, seraya isteri menunjukkan benjolan itu pada sebelah kiri perutnya. Saya tidak tahu, besok kita ke dokter, kata penulis. Ternyata be-soknya benjolan itu hilang yang membuat kami tidak jadi ke dokter. Te-tapi, keesokan harinya, pagi-pagi DUS lagi menyampaikan, “Ada lagi muncul benjolan, sebelah kiri perut dan sakit sekali, sakit itu terasa menja-lar ke pinggang,” Sorenya kami pergi ke dokter di Melati, dokter yang sebelumnya membuka praktek di Cigombong, dan selanjutnya ia pindah di Melati. Dokter itu memeriksa DUS di kamar periksanya, sedangkan penu-lis tinggal di luar. Penulis tidak tahu apa yang dibicarakan dokter dengan DUS, lalu dokter memberikan obat, obat apa yang diberikan, juga tidak diketahui penulis. Setibanya DUS di luar, kami langsung pulang. Di rumah obat ditelannya dan kami terus tidur. Dua minggu kemudian, benjolan muncul lagi dan DUS merasa sakit sekali, sakitnya seperti menjalar dari perut ke pinggang. Sorenya kami kembali ke dokter itu juga. Diberikannya obat, lalu kami pulang. Penulis mencoba melihat obat itu, ada tiga macam, satu di antaranya bernama neoralgin, sedangkan yang lain berupa tablet, tidak ada namanya. Selama sepuluh hari, tidak ada rasa sakit, tetapi benjolan itu kalau diraba, ada. Tepat empat hari kemudian, muncul lagi sakit. Penulis katakan, besok kita ke dokter lagi. DUS memberontak men-dengar kata, besok ke doter lagi. “Saya tidak mau lagi ke dokter itu,” kata DUS. Penulis membujuk, kita harus bersabar, kita ke dokter lagi dengan membawa catatan, dicatat bagaimana sakitnya dan menjalarnya. Dengan ajakan itu, DUS mau lagi ke dokter itu, dan sekali ini dengan penulis ma-suk ke ruangan periksa. Catatan diserahkan, rupanya catatan itu dianggap tidak perlu, sebab penulis melihat, dokter mengabaikan surat itu, dan ia langsung berbicara, ”Ibu ini, mungkin sakit ginjal, selain obat yang saya berikan, coba meminum rebusan daun kumis kucing, atau air rebusan daun belimbing.” Mendengar saran dokter, penulis bergegas mencari dan mere-bus daun kumis kucing. Setelah dingin, lalu penulis memberikannya ke-pada DUS. Dicicipinya, ia muntah, “Pahit,” katanya. Penulis demontrasi, penulis menenggak rebusan daun kumis kucing itu, habis satu cangkir. Ka-lau dirasa-rasa, tentu rasa pahit, jangan dirasa-rasa, minum dengan iman, kata penulis, akhirnya DUS mau meminum air rebusan daun kumis kucing itu. Anehnya, yang selama ini, apabila penulis memakan ikan goreng, badan penulis gatal-gatal, alergi, tetapi sejak meminum rebusan daun ku-mis kucing itu, penulis tidak alergi lagi.
DUS sudah beberapa kali berobat ke dokter, tetapi benjolan tetap ada dan terasa sakit setiap pagi. Kami berbincang-bincang, karena ibu yang sakit, kami sepakat kalau dokter perempun yang dituju, lebih cocok. Kebetulan dokter yang memberi obat malaria kepada anak kami, dahulu, isterinya yang juga dokter, sudah datang. Kami pergi ke praktek dokter itu. Ibu saya menceriterakan hal sakitnya, yang akhirnya dokter mengirimnya ke RSUP Dok II, Jayapura, dan dokter itu memang bekerja di Jayapura. Olehnya, Isteri saya, DUS diterapi pemanasan, Sempat dua kali terapi pe-manasan, hasilnya tetap sama; tidak ada perubahan.
Karena DUS setiap pagi mengeluh sakit terus-menerus, teman-teman gurunya menganjurkan agar DUS diperksakan ke dokter O. DUS setuju dan penulis juga setuju, lalu hari Senin sore kami pergi ke praktek dokter O. Setiap orang mau berobat ke dokter O itu, disuruh mencatat na-manya di buku, ternyata kami lihat bahwa sampai untuk Selasa malam, su-dah penuh. Selanjutnya kami catat di buku untuk hari Rabu, dan jamnya pada pukul 7.00 malam, sebab tempat tinggal kami jauh dengan tempat praktek dokter.
Untuk keperluan pemeriksaan, yang dianggap penulis perlu, penu-lis menyiapkan catatan, bagaimana gejala rasa sakit DUS, dan mence-riterakan sudah pernah berobat ke dokter, yang diketik satu lembar penuh. Ketika giliran DUS diperiksa, DUS menyerahkan ketikan penulis kepada dokter. Menurut laporan DUS, dokter O membaca surat itu dengan serius, lalu dokter O mengatakan, “Saya kira ibu menderita tumor, coba naik ke meja periksa,” setelah naik, lalu dirabanya perut DUS, di sini ‘kan? DUS meng”ya”kan pertanyaan dokter. Kemudian DUS di suruh turun dari meja periksa, selanjutnya dokter O menjelaskan, “Harus dioperasi. Jangan kha-watirr, sebentar lagi dokter ahli kandungan datang, kalau sebulan lagi dokter kandungan belum juga datang, biar saya yang operasi.” kata dokter O.
Pelayanan dokter O, penulis puas karena dokter itu membaca surat yang penulis buat dengan serius. Memang menurut seorang secretariat RSUP, apabila dokter itu menemui masalah di rumah sakit, setelah jam pulang, ia tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ia langsung ke perpus-takanya sampai masalah itu terjawab.

Rupanya tiap orang harus rajin membaca, selain sebagai hiburan, juga untuk menambah wawasan, jangan sampai divonis flu berat, ternyata malaria, karena tidak tahu kondisi Papua. Dan ada pula sakit di pinggang, dicurigai sakit ginjal, pada hal tumor.

PENYAKIT MALARIA

Apabila ada orang yang baru dating di Papua akan ada orang berseloro, “Belum dapat jatah malaria, ya.” Orang baru datang itu akan nyengir-nyengir, antara takut dan ragu-ragu. Memang ketika penulis baru tiba di Papua, tidak jauh dari pelabuhan, ada reklame peninggalan tentara Amerika, yaitu gambar nyamuk menusuk bokong manusia dan di situ ada tulisan berbahasa Inggris, yang artinya, lebih berbahaya bayonet nyamuk daripada bayonet musuh. Maksudnya bayonet nyamuk adalah belalai nya-muk. Memang benar, seperti teman penulis yang seligtingdengan penulis, ia selalu demam. Setiap teman itu demam, ia menelan obat penurun panas, seperti antalgin. Penulis menganjurkan agar menelan obat malaria (kloro-quine), tetapi jawabnya, nanti kebal. Pada hal ia mendapatkan obat malria, gampang, karena isterinya seorang suster yang bekerja di RS. Pembantu. Mungkin isterinya yang mengajarinya tentang hal kebal itu, sebab sewaktu Belanda berkuasa, manteri-manteri kesehatan zaman itu yang mengajari tentang kebal itu. Nyatanya teman seligting penulis itu, lama-kelamaan berjalannya miring, rupanya limpanya sudah mulai membengkak yang a-khirnya pecah, dan teman itu meninggal dunia. Kalau sakit malaria tertiana prosesnya seperti yang sudah diceriterakan itu. Jika sakit malaria tropika, kata manteri kenalan penulis, kalau sudah tiga hari tidak turun panasnya, lebih baik orang itu mati, sebab kalaupun sembuh, orang itu akan tidak bisa berbuat apa-apa; menjadi beban keluarga selama hidupnya, sebab itu hati-hati nyamuk.
Selanjutnya, karena yang diceriterakan di sini tentang pengalaman di Kotaraja maka penulis menceriterakan sedikit mengenai keadaan Kota-raja, supaya pembaca tidak bingung.
Kotaraja, ketika Belanda meninggalkan Papua, masih hutan lebat, dan banyak rawa-rawa. Ketika Indonesia berkuasa, didirikanlah Asrama Brimob dan Asrama Tentara yang disebut Bucend IV. Karena sekolah YPK berada 2 km dari pinggir jalan besar, maka muncullah istilah “Kota-raja Dalam” untuk sekolah YPK, dan “Kotaraja Luar” untuk kedua asrama itu, termasuk komplek SD Negeri Kotara. Beberapa tahun kemudian, didirikan Perumahaan pegawai yang disebut Pemda II, tetapi karena yang membangun PT. Cigombong maka lebih populer nama Cigombong dari-pada Pemda II. Begitu pula Pemda III, lebih populer nama Melati daripada Pemda III, karena yang membangun PT Melati. Di Cigombong maupun di Melati itu ada rumah dokter. Begitu pula di Bucend IV, ada rumah dokter. Di rumah dokter, sore hari ia membuka praktek. Demikian pula di depan rumah penulis, ada juga perumahan pegawai, disebut Perumahan Sehat. Di depan komplek penulis ada juga dokter. Lama-kelamaan berdiri pula Perumahan DPR, bahkan Kotaraja menjadi satu dengan Abepura, yang tadinya hutan, menjadi kota.
Demikianlah, anak kami yang ketiga berumur 3½ menderita de-mam panas, dan biasanya jika anak panas, kami langsung beri obat satu ta-blet kloroquine. Waktu itu sudah mudah mendapatkan obat malaria. Sa-yangnya anak kami itu, sudah dua hari menelan obat tidak ada tanda-tanda akan turun panasnya. Jika dilanjut, penulis khawatir anak keracunan obat. Oleh sebab itu kami bawa anak itu ke dokter. Dokter itu baru datang di Kotaraja (Jayapura), dan ia memberi kloroquine ½ tablet. Penulis bilang, sudah diberi kloroquine 1 tablet, maka ½ tablet dosisnya terlalu rendah. “Coba saja dulu,” kata dokter itu. Karena ia dokter, penulis menurut saja, yang akhirnya kami pulang ke rumah. Pukul 2.00 sore anak itu menga-takan, “Mau muntah, pak.” Ya, muntah saja, kata penulis. Tiba-tiba pe-nulis melihat mata anak itu, terbelalak. Penulis pikir, anak itu sudah mati, karena penulis belum pernah melihat orang step. Dengan tanpa baju, penulis gendong anak itu ke sekolah, sebab ibunya masih mengajar. Ia da-tang dengan buru-buru, seraya mengucapkan, “Sudah mati anakku.” Kepa-la sekolah datang pula, katanya, “Anak ibu step, bawa segera ke dokter.” Kami bawa anak itu ke dokter, ke dokter yang telah memberi obat anak kami ½ tablet. Dokter itu dengan dimulainya mengucap, disuntiknya anak itu. Setelah disuntiknya kamipun pulang ke rumah. Orang-orang di kom-plek sekolah gempar karena stepnya anak itu. Sorenya teman-teman datang yang akhirnya tidur di rumah kami. Begitulah persaudaan kami waku itu di Jayapura, sangat toleren, walaupun dari lain suku.
Sudah malam, anak kami belum juga sadar. Mengingat ucapan-ucapan manteri, kami orangtua anak sangat cemas. Malamnya kami semua tidak tidur-tidur, dan anak itu belum juga sadar, bahkan ia tidur terus-me-nerus, mungkin dia diberi dokter itu tadi obat tidur yang digiling yang di-campur dengan obat malaria.
Hari sudah pagi, teman-teman itu pergi karena mereka juga pega-wai. Sorenya meraka sudah datang pula, anak kami belum juga sadar. Te-tapi tengah malam anak itu mengigau, “Bapak marah, saya tidak mau ikut kamu, saya mau pulang,” begitu igau anak itu. Mendengar igauan anak itu, penulis baru sadar, anak itu akan sadar. Esoknya, kira-kira pukul 6.00 pagi, anak itu bangun, seraya dia meminta minum. Saya beri minum teh manis, tetapi ia masih panas, panasnya tidak seberapa. Panas tidak seberapa itu sampai tiga hari, barulah panas anak itu normal. Seminggu kemudian anak itu rewel, pertanda akan sakit lagi. Penulis beli obat kloroquine di depot obat di Abepura. Kemudian diberikan sesuai dengan aturan. Hilang lagi panasnya, tetapi 2 minggu kemudian kambuh lagi. Kami tidak bawa lagi ke dokter praktek, karena kami masih trauma. Ke Puskemas juga tidak karena kalau ke Puskemas harus pagi dan selesainya sampai setengah hari. Beli lagi kloroquine, diberikan, .turun lagi panasnya. Teman-teman meng-anjur, agar darah anak diperiksa di suster ibu Sihotang. Ibu Sihotang mem-punyai mikroskop untuk periksa darah. Beigitulah, anak itu kami, kami bawa ke ibu Sihotang. Memang benar, di darah anak itu masih ada bibit malaria, tetapi saat itu anak tidak panas. Oleh sebab itu, sesampai di ru-mah, penulis pergi ke depot obat, yang waktu itu di Abepura belum ada apotek. Di depot obat itu dipajang obat malaria, di antaranya malarex dan kinine (kina). Penulis meminta brosurnya, dalam brosur, kalau malarex cendrung sama dengan kloroquine, tidak menyinggung malaria mana diobatinya, sedangkan kina, menurut brosurnya, paling manjur mengobati malaria tropika. Penulis membeli 3 kemasan (30 butir), sebab begitu di-anjurkan brosur. Setelah dibayar, penulis pulang ke rumah. Sesampai di rumah, penulis jelaskan cara kerja kina, kepada isteri lalu isteri menangkis, “Itu reklame, supaya laku.” Walaupun isteri menangkis, tetapi penulis percaya kepada brosurnya. Obat kina diminumkan kepada anak sampai lima hari, setelah dua minggu diperiksa lagi darahnya, ternyata masih ada bibit malarianya. Diberikan lagi kina ¾ tablet, dengan cara melumatkan obat pada sendok, dicampur air, lalu diminumkan sampai lima hari. Sete-lah dua minggu, diperiksakan lagi darahnya, masih ada bibit malaria. Pe-nulis belum jera, diberikan lagi obat kina, setelah dua minggu, diperiksa lagi darahnya, masih ada bibit malarianya. Pada kali keempat, setelah dua minggu, diperiksakan lagi darahnya, “Masih ada bibit malarianya, tetapi sudah patah-patah, ito,” kata ibu Sihotang. Mendengar sudah patah-patah, diminumkan lagi obat malaria/kina, setelah dua minggu, diperiksakan lagi darah anak itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Tetapi ibu Sihotang mengata-kan, “Jangan menganggap sudah aman malarianya, ito. Tetap awaspada dengan nyamuk.”
Adapun nyamuk adalah pengedar bibit malaria, kalau bibit mala- ria tropika pengantarnya adalah nyamuk anopeles, kalau malaria tertiana dikembangkan oleh nyamuk tertiana. Dan bila tetangga yang sudah de-mam, kalau nyamuk dari tetangga itu terbang ke rumah kita, nyamuk itu bersembunyi pada pakaian, yang ada bau keringat sangat disenangi nya-muk, malam-malam ia akan mencari makan. Digigitnya kita, kita akan sakit malaria. Apalagi di rumah kita ada yang sakit, semua yang tinggal di rumah itu akan sakit, gara-gara ada nyamuk yang menyebarkannya. Tidak semua nyamuk menyebarkan bibit malaria, kata orang, di Taive (peda-laman/sungai Mambramo, Papua, kalau berjalan harus dikipas-kipas de-ngan daun-daun untuk mengusir nyamuk) apalagi malam hari. Walaupun nyamuk berdengung karena sangkin banyaknya, tetapi tidak ada orang sakit malaria di Taive.
Ada mengatakan, nyamuk itu pintar, lantaran, nyamuk dapat ma-suk melalui celah walaupun di bawah pintu sudah dijejal dengan kain-kain. Sebenarnya nyamuk masuk bukan melalui celah pintu, tetapi melalui pin-tu. Coba Anda perhatikan, pada malam hari dengan membawa senter Anda keluar rumah, kemudian Anda masuk lagi, ketika Anda membuka pintu, nyamuk lebih dahulu masuk daripada Anda, yang dapat dilihat ketika nyamuk beterbangan kena sinar dari senter. Dan jangan dianggap sudah aman kalau Anda sudah pakai kelambu. Sebab kelambu dapat ditembus oleh belalai nyamuk. Ketika Anda tidur, tetapi anggota badan Anda sandar ke pinggir kelambu, sehingga nyamuk berhasil menembus kelambu lalu menghisap darah Anda. Oleh sebab itu, sebaiknya ranjang tempat tidur Anda dipasangi papan keliling, agar anggota badan sandar tidak ke ke-lambu saja, melainkan ke papan.
Selanjutnya, melalui tulisan ini penulis menyampaikan penga-laman, bahwa karena penulis sudah pernah kena malaria, yang apabila penulis kehujanan, satu hari kemudian flu penulis muncul, yang walaupun telah menelan obat flu, flu tidak hilang. Tetapi setelah penulis menelan obat malaria, barulah flu (malaria) itu hilang. Begitu pula kalau anak Anda mandi-mandi terlalu lama, karena sudah pernah kena malaria, malarianya akan kambuh. Ataupun kalau meminum air es, air kelapa muda, dan lain sebagainya, penyakit malaria kambuh, pertanda bibit malaria masih ada dalam tubuh. Oleh sebab itu kita harus waspada. Menurut orang, selama 14 tahun penyakit malaria tidak kambuh-kambuh, barulah dikatakan penyakit malaria kita sudah hilang, itupun kalau mengidap penyakit malaria ter-tiana. Lain dengan malaria tropika, malaria tropika seperti diceriterakan penulis terdahulu, malarianya hilang setelah melalui beberapa kali mene-lan obat dan beberapa kali pemeriksaan darah.

Dilanjutkan lagi, berdasarkan pengalaman seperti yang diuraikan; apabila mandi terlalu lama, meminum air es, meminum air kelapa muda, yang mempengaruhi suhu badan, penyakit malaria akan kumat. Oleh kare-na itu, ketika kami sekeluarga cuti ke kampung, kepada anak-anak penulis mengingatkan, perjalanan kita ke Papua, sangat jauh. Jangan lama mandi, jangan meminum air kelapa muda dan lain sebagainya. Kalau penulis ada, tentu anak-anak mendengar nasehat itu, karena takut dimarahi. Tetapi keti-ka penulis pergi membeli tiket, anak-anak merasa bebas. Mereka mandi-mandi pada air berlumpur di sawah, meminum air kelapa muda, dan kela-panya diaduk dengan gula merah. Kata kakek mereka, “Besok kalian sudah pulang, silakan kalian minum air kelapa muda.”
Sekembali penulis tiba dari membeli tiket, penulis melihat kulit kelapa muda bertebaran dan rambut mereka masih basah. Dalam hati pe-nulis, celaka, pasti di antara anak-anak akan ada diserang malaria. Betul, anak kedua setiba di Jakarta, badannya panas. Penulis langsung membeli obat malaria ke apotek, ternyata pihak apotek mengatakan, “Obat malaria tidak sembarang dijual, harus melalui dokter.” Kebetulan pesawat terbang yang membawa kami, enam hari lagi baru berangkat ke Papua. Sambil me-nunggu keberangkatan, kami pergi ke Bandung. Di Bandung pun cepat-ce-pat penulis pergi ke apotek di Jln. Pasir Kaliki. Ternyata di Bandungpun pihak apotek juga mengatakan,”Tidak boleh obat malaria dijual semba-rangan, harus melalui dokter.” Karena di apotek ada dokter, penulis me-manggil anak yang sakit itu, lalu diperiksakan ke dokter di apotek itu. Kata dokter, “Anak ini menderita sakit flu berat.” Bukan sakit malaria, dokter, tanya penulis. “Tidak,” jawab dokter. Karena kami lima hari lagi baru ber-angkat ke Papua, tolongah, dokter, kata penulis. Dokter tidak berkomentar, seraya ia memberikan resep obat flu itu.
Adapun anak kami, semuanya pernah darahnya diperiksa karena kena sakit malaria, dan ternyata malarianya adalah tertiana, yang apabila kambuh, diberi obat flu saja bisa turun panasnya, tetapi belum sembuh; bibit malarianya akan bersembuntyi di limpa atau di hati. Seperti anak kami nomor 2 itu, mau ikut berjalan-jalan ke Tangkuban perahu, tetapi ia tidak segar.
Singkat ceritera, ketika kami tiba di Kotaraja, Jayapura, penulis langsung membawa anak yang sakit itu ke dokter Ny. Tony Iman di Bu-cend IV. Setelah anak kami dipasang thermometer di ketiaknya, dan di- suruh membuka mulut, dilihat dokter dengan dibantu sinar senter, lalu kata dokter, “Sudah,” seraya memberikan obat kloroquine. Penulis bertanya, mengapa di Bandung dikatakan dokter anak ini menderita sakit flu berat?” “Mungkin Bapak tidak memberitahu bapak dari Papua.” Penulis tercengang mendengar jawaban dokter,”tidak memberi tahu Bapak dari Papua.”